Minggu, 23 Desember 2018

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEWIRAUSAHAAN


Assalamu'alaikum Wr. Wb. 


Berikut adalah FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEWIRAUSAHAAN yang telah saya dan teman saya susun. Maafkan apabila ada kesalahan yah. Semoga bermanfaat.

KEWIRAUSAHAAN

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEWIRAUSAHAAN
DISUSUN OLEH:

NURAMALIYAH RAMADHANY
APRIMAYANTI

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2017

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur dihaturkan kehadirat Allah SWT. yang memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya, tak lupa pula penulis haturkan selawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. yang telah menjadi suritauladan yang baik bagi manusia.
Berkenaan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah Kewirausahaan yaitu membuat makalah, yang berjudul “Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Kewirausahaan” maka penulis sebagai Mahasiswa berkewajiban untuk mengerjakannya dan wajib mengumpulkan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Terima kasih penulis haturkan kepada Dosen mata kuliah Kewirausahaan yang telah mempercayakan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan ini.
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat membantu teman-teman dalam memahami tentang “Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Kewirausahaan”.
Samata-Gowa, 21 Mei 2017

Kelompok 10


DAFTAR ISI

À      Kata Pengantar
À      Daftar isi
À      Bab I Pendahuluan
Ø  Latar Belakang
Ø  Rumusan Masalah
Ø  Tujuan
À      Bab II Pembahasan
Ø  Faktor-Faktor Pendukung Kewirausahaan
Ø  Faktor-Faktor Penghambat Kewirausahaan
À      Bab III Penutup
Ø  Kesimpulan
Ø  Saran
À      Daftar Pustaka 



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Sesuatu yang baru dan berbeda adalah nilai tambah barang dan jasa yang menjadi sumber keuanggulan untuk dijadikan peluang. Jadi, kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda.
Di Indonesia, kewirausahaan dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau perguruan tinggi tertentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan tantangan seperti adanya krisis ekonomi, pemahaman kewirausahaan baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan di segala lapisan masyarakat kewirausahaan menjadi berkembang.
Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut wirausahawan. Sikap dan keinginan untuk terjun ke dunia usaha atau entrepreneur seperti yang kita ketahui tidaklah serta merta sudah ada pada seseorang. Semua wirausahawan yang sukses pasti memiliki latar belakang yang telah merubah mereka atau telah membentuk karakter mereka. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan apa saja yang menjadi faktor penghambat dan pendukung kewirausahaan.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah antara lain:
1.      Apa sajakah faktor-faktor pendukung kewirausahaan?
2.      Apa sajakah faktor-faktor penghambat kewirausahaan?

C.    Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah antara lain:
1.      Mahasiswa dapat mengetahui faktor-faktor pendukung kewirausahaan.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui faktor-faktor penghambat kewirausahaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Faktor Pendukung Kewirausahaan
Menurut Kuncara (2008:1) faktor pendorong kewirausahaan terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal sebagai berikut:
1.      Faktor internal, yaitu kecakapan pribadi yang menyangkut soal bagaimana kita mengelola diri sendiri. Kecakapan pribadi seseorang terdiri atas 3 unsur terpenting, yaitu: (1) Kesadaran diri. Ini menyangkut kemampuan mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, dan keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri atau percaya diri. (2) Pengaturan diri. Ini menyangkut kemampuan mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan yang merusak, memelihara norma kejujuran dan integritas, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, keluwesan dalam menghadapi perubahan, dan mudah menerima atau terbuka terhadap gagasan, pendekatan dan informasi-informasi baru. (3) Motivasi. Ini menyangkut dorongan prestasi untuk menjadi lebih baik, komitmen, inisiatif untuk memanfaatkan kesempatan, dan optimisme dalam menghadapi halangan dan kegagalan.
2.      Faktor eksternal, yaitu kecakapan sosial yang menyangkut soal bagaimana kita menangani suatu hubungan. kecakapan sosial seseorang terdiri atas 2 unsur terpenting, yaitu: (1) Empati. Ini menyangkut kemampuan untuk memahami orang lain, perspektif orang lain, dan berminat terhadap kepentingan orang lain. Juga kemampuan mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan. Mengatasi keragaman dalam membina pergaulan, mengembangkan orang lain, dan kemampuan membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan, juga tercakup didalamnya. (2) Keterampilan sosial. Termasuk dalam hal ini adalah taktik-taktik untuk meyakinkan orang (persuasi), berkomunikasi secara jelas dan meyakinkan, membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok, memulai dan mengelola perubahan, bernegosiasi dan mengatasi silang pendapat, bekerja sama untuk tujuan bersama, dan menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan kepentingan bersama.

Dalam “Entrepreneur`s Handbook”, yang dikutip oleh Yuyun Wirasasmita (1994:8), dikemukakan beberapa faktor yang mendorong timbulya kemauan seseorang untuk berwirausaha:

  1. Fakor ekonomi/ keuangan, yaitu untuk mencari nafkah, untuk menjadi kaya, mencari pendapatan tambahan, dan sebagai jaminan stabilitas keuangan.
  2. Faktor sosial, yaitu untuk memperoleh gengsi/ status, untuk menjadi terkenal dan dihormati, menjadi contoh bagi warga desa, dan agar dapat bertemu dengan orang banyak.
  3. Faktor pelayanan, yaitu untuk memberi pekerjaan pada masyarakat, untuk menatar masyarakat, membantu ekonomi masyarakat, demi masa depan anak-anak dan keluarga, untuk mendapatkan kesetiaan suami/ isteri, dan untuk membahagiakan orang tua.
  4. Faktor kebutuhan diri, yaitu untuk menjadi sesuai keinginan (misal atasan), menghindari ketergantungan pada orang lain, agar lebih produktif, dan menggunakan kemampuan pribadi.
Menurut Timmons (2008:41), dasar fundamental dari proses kewirausahaan sering dijumpai pada pola kesuksesan ventura. Selain variasi bisnis, wirausahawan, faktor geografi, dan teknologi, faktor pendukung utama juga mendominasi proses kewirausahaan yang dinamis. Sehubungan dengan itu, Timmons mengemukakan lima faktor pendorong  proses kewirausahaan sebagai berikut:

  1. Digerakkan oleh semangat meraih peluang bisnis.
  2. Digerakkan oleh wirausahawan terkemuka dan tim kewirausahaannya.
  3. Hemat dan kreatif dalam menggunakan sumber daya.
  4. Sadar akan perlunya kesesuaian dan keseimbangan.
  5. Terintegrasi dan holistik.
Menurut Timmons (2008:40), wirausahawan harus menjauhi arena persaingan yang sekiranya tidak menguntungkan dirinya, atau memanfaatkan potensi yang ada secara kreatif untuk menghasilkan kompetensi. Berusaha menciptakan pertambahan nilai perusahaan yang disertai aliran arus kas yang tidak terputus, sehingga menarik minat perusahaan modal untuk berinvestasi. Menurut Timmons, saat ini terjadi kecenderungan di mana wirausahawan yang telah sukses membawa pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang menjadi nilai tambah untuk menjadi invenstor terhadap perusahaan pemula yang berpotensi tinggi. Salah satu kriteria ventura potensial adalah mampu mengidentifikasi mitra dalam hal pendanaan dan anggota tim inti. Mereka mencari penyandang dana yang memiliki nilai tambah yakni dapat meningkatkan sumber daya manusia perusahaan secara keseluruhan. Dari kesemua hal berkenaan dengan proses kewirausahaan, puncaknya adalah ventura terkait dengan pilihan gaya hidup. Hidup harus dibuat bahagia, sehingga seseorang bisa hidup sesuai dengan keinginannya, sementara perusahaan terus berkembang.

Timmons (2008:41) menggambarkan faktor pendorong yang mendasari kesuksesan ventura baru melalui tiga faktor yaitu peluang usaha, sumber daya, dan tim. Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi menciptakan keseimbangan sebagaimana diilustrasikan pada bagan Timmons. Proses kewirausahaan diawali dengan peluang usaha (bukan uang), strategi, jaringan, tim, atau rencana bisnis. Peluang usaha terjadi dengan sendirinya di luar kontrol siapa pun. Tugas wirausahawan dan timnya adalah meramu semua faktor yang ada sehingga terjadi suatu keseimbangan. Wirausahawan bagai seorang akrobator yang harus menjada tiga buah bola agar tetap di udara sambil melompat-lompat di atas trampoline. Seperti itulah kondisi sebuah perusahaan pemula. Rencana bisnis merupakan bahasa dan kode untuk mengkomunikasikan kualitas dari tiga kekuatan dalan bagan Timmons untuk mencapai kesesuaian dan keseimbangan.
Dari bagan di atas, Timmons menganalisis bahwa bentuk, ukuran, dan dalamnya peluang usaha menentukan bentuk, ukuran dan dalamnya kondisi sumber daya dan tim.
  1. Peluang usaha, merupakan inti dari proses kewirausahaan. Suatu peluang usaha dianggap baik jika memiliki permintaan pasar, struktur pasar dan ukuran pasar yang baik, besarnya marjin. Ringkasnya, suatu peluang dikatakan memiliki kekuatan bila investor mendapatkan modalnya kembali.
  2. Sumber daya, yakni potensi dan kompetensi yang didukung oleh kreativitas dan penghematan. Wirausahawan yang sukses adalah yang dapat menghemat modal dan memanfaatkannya dengan cerdik.
  3. Tim Kewirausahawan, dipimpin oleh wirausahawan yang sudah memiliki pengalaman kerja yang sukses. Menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat, menghargai yang berhasil tetapi juga membantu yang gagal. Menerapkan standar perilaku dan performa yang tinggi pada tim.
 Hubungan antara ketiga kekuatan bagan Timmons harus diwarnai oleh konsep kesesuaian dan keseimbangan. Dengan demikian, tugas wirausahawan dan timnya adalah meramu semua faktor yang ada sehingga terjadi suatu keseimbangan. Dalam artian, dia harus bisa menguasai keadaan sehingga bisa mencapai keberhasilan usaha.Dasar dari proses kewirausahaan ada dua, yaitu logika dan trial and error dengan menggunakan intuisi dan perencanaan. Namun keberhasilan dari suatu proposal ventura banyak tergantung pada kesesuaian faktor kekuatan yang dapat meyakinkan investor. Tidak ada waktu yang paling tepat untuk memulai sebuah proses kewirausahaan. Oleh karena itu, kesigapan dalam melihat suatu peluang dan keputusan untuk meraihnya memiliki nilai tersendiri dalam proses kewirausahaan.

Sikap dan keinginan untuk terjun ke dunia usaha atau entrepreneur seperti yang kita ketahui tidaklah serta merta sudah ada pada seseorang. Semua wirausahawan yang sukses pasti memiliki latar belakang yang telah merubah mereka atau telah membentuk karakter mereka. Oleh karena itu, pada makalah ini dianggap penting untuk membahas latar belakang tersebut. Latar belakang tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap minat wirausaha. Hal ini dikarenakan seorang wirausahawan sering melihat orang-orang di sekitarnya baik itu orang tua, saudara, keluarga yang lainnya, teman dan juga pengusaha yang sukses sebagai idola atau sebagai motivatornya. Dorongan teman cukup berpengaruh terhadap semangat membuka suatu usaha. Hal ini disebabkan kita bisa berdiskusi bebas dengan teman kita jika dibandingkan dengan orang lain. Lingkungan profisional juga dapat diminta bantuan, misalnya pada biro konsultan bisnis, dosen maupun badan asosiasi bisnis lainnya. Terhadap pekerjaan orang tua, sering kali terlihat bahwa ada pengaruh terhadap anak-anaknya. Keadaan ini sering kali juga memberikan inspiasi pada anak sejak kecil. Orang tua juga juga cenderung mensuport serta mendorong anaknya untuk bisa mandiri. 
2.      Nilai Personal
Dari segi nilai personal, agak sulit membedakan keberhasilan seorang pengusaha dengan pengusaha yang gagal. Namun menurut Robert Hisrich, terdapat nilai yang dapat diamati sebagai karakteristik keberhasilan dalam berwirausaha, yaitu: Keinginan menghasilkan superior product, Keinginan malayani konsumen dengan layanan yang berkualitas, Fleksibel dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan, Kemampuan dalam memanajemen, dan Memiliki sopan santun serta beretika dalam berbisnis.
3.      Usia
Satu hal yang perlu diingat bahwa percobaan demi percobaan dalam berwirausaha adalah salah satu predikat langkah terbaik dari kesuksesan. Oleh sebab itu, kebanyakan wirausaha sudah berumur 22 sampai 55 tahun. Memulai usaha di luar dari batasan usia ini sebenarnya tidak masalah namun yang bersangkutan kurang dalam pengalaman bagi yang masih muda atau sudah terlambat melangkah bagi yang sudah tua.
4.      Pendidikan
Banyak orang menyatakan bahwa tingkat pendidikan para wirausaha juga penting terutama dalam menjaga kontinuitas usahanya. Selain itu, pendidikan yang memadai juga dibutuhkan dalam mengatasi semua masalah. Pada saat memulai usaha, tingkat pendidikan tidak memegang peranan penting. Banyak di antara pengusaha sukses adalah orang-orang drop out, sebut saja Andrew Carnegie, William Durant, Henry Ford, dan masih banyak lagi. Namun tetap saja pendidikan itu penting.
5.      Riwayat Pekerjaan
Untuk memulai suatu usaha, sering kali seseorang memerlukan pengalaman dari pekerjaan sebelumnya. Mungkin saja seseorang tidak puas dengan pekerjaannya yang sedang ia kerjakan, tidak ada peluang untuk maju, tidak ada kemungkinan naik pangkat atau konflik di tepat kerja. Hal-hal ini dapat menjadi pemicu seseorang memulai atau merintis usahanya sendiri. Banyak karyawan yang sudah bekerja sekian tahun dan memiliki skill dan pengetahuan yang kompleks tentang pekerjaannya tersebut kemudian berhenti dari pekerjaannya lalu membuka usahanya sendiri.


Secara umum, faktor-faktor pendukung keberhasilan wirausaha adalah
  1. Faktor manusia, merupakan faktor utama dalam mencapai keberhasilan sebab tanpa ada yang menjalankan maka peralatan yang canggih sekalipun tidak akan berguna. Tetapi bukan berarti jika ada manusia yang menjalankan maka segala sesuatu akan beres. Bayangkan saja jika manusia tersebut malas, tidak mau berusaha dan tidak memiliki kemampuan apa-apa.
  2. Faktor keuangan, merupakan faktor penunjang dan pendukung keberhasilan dalam berwirausaha. Faktor keuangan juga penting sebab tanpa adanya uang, usaha tidak akan mampu berjalan. Sesuatu yang penting dan diperhatikan dalam masalah keuangan bukan dalam hal besarnya dana yang dimiliki, tetapi terletak pada kemampuan mengelola keuangan yang ada. Dana yang besar tanpa pengelolaan yang tepat akan mengakibatkan pemborosan. Sebaliknya dana yang tersedia di tangan pengelola yang handal diterapkan sikap disiplin dan hati-hati dalam mengelolanya. Kunci utama dalam mengelola keuangan adalah administrasi yang rapi, teliti dan tepat.
  3. Faktor organisasi, dengan adanya organisasi maka sumber daya masuk ke dalam suatu pola, sehingga orang-orang yang bekerja di dalam perusahaan dapat bekerja secara berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai suatu tujuan. Organisasi merupakan wadah kegiatan yang ada dan perlu ada, agar tujuan usaha dapat tercapai sesuai dengan harapan. Fungsi organisasi dalam usaha adalah untuk menetapkan kegiatan yang harus dilaksanakan serta mengelompokkan kegiatan dalam berwirausaha. Sasaran faktor organisasi adalah untuk mendapatkan bentuk kerja sama yang berguna bagi perusahaan.
  4. Faktor perencanaan, perencanaan usaha berfungsi menentukan dan merumuskan tujuan usaha yang diharapkan. Dengan perencanaan yang matang maka kegiatan usaha yang dilaksanakan dapat terkendali, terukur berhasil tidaknya dan terhindar dari kesalahan. Apabila suatu usaha dilakukan tanpa adanya perencanaan maka usaha tersebut dapat gagal.
  5. Faktor pengelolaan usaha, pengelolaan usaha yang baik, akan membantu tercapainya keberhasilan bidang usaha. Pengelolaan usaha akan mencakup banyak hal di antaranya masalah penggunaan dana perusahaan. Pengelolaan usaha yang baik selalu berhubungan dengan pelaksanaan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendaliannya.
  6. Faktor pemasaran, pemasaran dapat menentukan mati hidupnya perusahaan, akan tetapi kegiatan yang lainnya tidak boleh diabaikan. Pentingnya pemasaran bagi perusahaan adalah dapat menentukan mengalirnya barang-barang dan jasa ke tangan konsumen secara tepat dan cepat.
  7. Faktor administrasi, merupakan faktor penunjang tercapainya keberhasilan usaha. Dengan administrasi yang rapi memungkinkan tersimpannya segala catatan atau dokumen penting yang berguna.
  8. Faktor fasilitas pemerintah, keberhasilan usaha banyak didukung oleh fasilitas yang diberikan kepada wirausahawan. Fasilitas-fasilitas itu bisa berupa kemudahan dalam mengurus perijinan usaha, pengajuan tambahan modal dan sebagainya.
B.     Faktor Penghambat Kewirausahaan
Menurut Zimmerer (1996: 14-15) ada beberapa faktor yang menyebabkan wirausahawan gagal dalam menjalankan usaha barunya, yaitu sebagai berikut.
1.      Tidak kompeten dalam hal manajerial
Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang membuat perusahaan kurang berhasil.
2.      Kurang berpengalaman
Baik dalam kemampuan teknik, memvisualisasikan usaha, mengkoordinasikan, mengelola sumber daya manusia meupun mengintegrasikan operasi perusahaan.
3.      Kurang dapat mengendalikan keuangan
Agar perusahaan dapat berhasil dengan baik, faktor yang paling utama dalam keuangan adalah memelihara aliran kas, mengatur pengeluaran dan pemasukan secara cermat. Kekeliruan dalam pemeliharaan aliran kas akan menghambat operasional perusahaan dan mengakibatkan perusahaan tidak lancar.
4.      Gagal dalam perencanaan
Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan, sekali gagal dalam perencanaan, maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan. 
5.      Lokasi yang kurang memadai
Lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien.
6.      Kurangnya pengawasan peralatan
Pengawasan erat kaitannya dengan efisiensi dan efektivitas. Kurangnya pengawasan dapat mengakibatkan penggunaan peralatan (fasilitas) perusahaan secara tidak efisien dan tidak efektif.
7.      Sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha
Sikap yang setangah-setangah dalam usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan gagal. Dengan sikap setangah hati, keungkinan terjadinya gagal mennjadi lebih besar.
8.      Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan
Wirausahawan yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan tidak akan menjadi wirausahawan yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan setiap waktu.

Beberapa hal yang menjadi penghambat perkembangan kewirausahaan di Indonesia, karena ada anggapan untuk melakukan wirausaha diperlukan :
1.      Modal
Masyarakat kita menganggap bahwa modal itu hanya berupa finansial dan harus disediakan dalam jumlah tertentu, bilamana tidak maka kita tidak dapat memulai wirausaha. Padalah modal dapat berupa ketrampilan, pengetahuan teknis dan jaringan kerja, dimana pada ahirnya dapat mendatangkan modal finansial. Memang betul bahwa suatu kegiatan apapun harus menggunakan uang. Karena dengan uang kita dapat melakukan mobilisasi sumber daya untuk menciptakan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat atau konsumen.
Dengan demikian suatu kegiatan kewirausahaan membutuhkan modal berupa uang. Banyak pemilik uang yang tidak dapat mengembangkan uang miliknya. Keinginan pemilik uang adalah agar uang yang dimiliki berkembang. Namun banyak pemilik uang tidak memiliki kemampuan mengembangkan uang miliknya. Pemilik uang biasanya mencari jalan agar uang miliknya berkembang melalui suatu bidang usaha yang dianggap fisibel. Suatu bidang yang dianggap fisibel biasanya dimiliki oleh seorang wirausahawan yang biasanya memiliki kreativitas dalam menghadapi suatu persoalan, dan menjadikannya suatu peluang usaha. Dengan demikian seorang wirausahawan dapat berparner dengan pemilik modal. Dimana masing-masing menggunakan perannya dan saling menguntungkan.
2.      Keturunan
Seorang sering mengatakan bahwa saya tidak dapat menjadi wirausahawan karena bukan seorang keturunan wirausahawan. Pernyataan tersebut sebenarnya dia membatasi diri untuk berkembang. Wirausahawan tidak melihat seseorang berasal dari mana, turunan siapa dan suku tertentu, yang ada adalah lingkungan yang membentuk dirinya. Dari lingkungan seseorang belajar dan memahami apa yang dilihat dan dirasakan.Bila seseorang dengan lingkunganya adalah lingkungan para wirausahawan maka ia akan cenderung bertindak dan berpikir wirausaha. Bila seseorang dengan lingkungan akademisi makaia akan bertindak dan berfikir secara akademisi. Bila seseorang dengan lingkungan pekerja maka ia akan cenderung bertindak dan berpikir secara pekerja. Seseorang bisa melakukan mutasi dari lingkungan ia berada. Seseorang dari lingkungan pekerja, ia bisa bermutasi menjadi seorang wirausahawan bila ia berkehendak dan merubah lingkungan dimana ia berada.
3.      Status Sosial Rendah
Wirausahawan kurang mendapat penghormatan dalam masyarakat. Apalagi untuk wirausahawan yang relatif masih kecil. Masyarakat kita lebih memberikan penghormatan kepada kaum pekerja yang memiliki jabatan tertentu. Masyarakat kita sangat menghargai orang yang bekerja kantoran.Seorang wirausahawan yang usahanya masih kecil sering disebut penganguran atau orang yang tidak punya pekerjaan.
4.      Pendidikan
Pendidikan juga menghambat berkembangnya kewirausahaan. Bagi yang berpendidikan rendah mengatakan bahwa mana mungkin saya bisa melakukan wirausaha karena pendidikan saya rendah. Sebaliknya orang yang berpendidikan tinggi juga mengatakan, pendidikan saya tinggi, saya harus segera berpenghasilan tinggi, mengapa saya harus melakukan kewirausahaan yang belum pasti hasilnya. Kewirausahaan tidak mengenal pendidikan. Yang ada adalah kemampuan membaca peluang usaha, kerja keras, tekun dan cerdik. Dengan kemampuan membaca peluang usaha, kerja keras, tekun dan cerdik, seorang wirausaha akan sukses.
5.      Gender
Saat ini banyak wirausahawan yang berasal dari wanita, bukan mutlak pria. Pembatasan gender hanya ada dalam kodrat sebagai manusia. Dalam berwirausaha tidak ada perbedaan gender.
6.       Kesehatan/Kelengkapan Fisik
Kesehatan/kelengkapan fisik adalah karunia Illahi. Tetapi tidak semua orang mempunyai kesehatan dan kelengkapan fisik bukan berarti tidak bisa melakukan sesuatu apapun. Banyak usaha yang dijalankan dengan kursi roda.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.   Faktor-faktor pendukung keberhasilan wirausaha adalah faktor manusia, faktor keuangan, faktor organisasi, faktor perencanaan, faktor pengelolaan usaha, faktor pemasaran, faktor administrasi, dan faktor fasilitas pemerintah.
2. Faktor-faktor penghambat keberhasilan wirausaha adalah tidak kompeten dalam hal manajerial, kurang berpengalaman, kurang dapat mengendalikan keuangan, gagal dalam perencanaan, lokasi yang kurang memadai, kurangnya pengawasan peralatan, sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha, dan ketidakmampuan dalam mengalihkan transisi kewirausahaan.
B.     Saran
Sebaiknya sebelum memulai usaha, kita mempelajari lebih dulu faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam berwirausaha karena hal tersebut dapat membuat kita menjadi pengusaha yang berkualitas dan dapat menghindari yang namanya kehancuran atau kebangkrutan.



DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, Ahmad. 2008. Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur. Bandung: Alfabeta.
Wirasasmita, Yuyun 1994. Kewirausahaan: Buku Pegangan. Jatinangor: UPT-Penerbitan IKOPIN.
Zimmerer, W. Thomas M. Scarborough.1996, Entrepreneurship and The New Venture Formation. New Jersey: Prentice Hall International Inc.

Terima kasih sudah mampir...
 Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Kamis, 06 April 2017

ISTIHSAN DAN ISTISHAB






Assalamu'alaikum Wr. Wb. 



Berikut adalah ISTIHSAN DAN ISTISHAB yang telah saya susun. Maafkan apabila ada kesalahan yah. Semoga bermanfaat.


MAKALAH

“ISTIHSAN DAN ISTISHAB”


Disusun Oleh

Kelompok VII


Nuramaliyah Ramadhany

Besse Wirdayani
 Salmawati



PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

2016

Kata Pengantar


Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nya sehingga kami telah menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul “Istihsan dan Istishab”. Tak lupa pula kita kirimkan salawat dan salam kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang-benderang.

Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya khusus kepada Ibu Dra. Hj. Muliati M. P.di dan Mahasiswa Pendidikan Matematika Angkatan 2015 yang senantiasa menyemangati kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami tahu bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna terutama bahan-bahan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kami berharap agar para pembaca dapat memberikan kritikan dan saran yang membangun dan berguna bagi kami kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan bagi pembacanya.



Samata-Gowa, 28 April 2016




Daftar Isi

À      Kata Pengantar....................................................................................... i

À      Daftar isi................................................................................................ ii

À      Bab I Pendahuluan

Ø  Latar Belakang............................................................................... 1

Ø  Rumusan Masalah.......................................................................... 1

Ø  Tujuan............................................................................................ 2

À      Bab II Pembahasan

Ø  Istihsan

o   Pengertian Istihsan.................................................................. 3

o   Macam-Macam Istihsan.......................................................... 5

o   Kehujjahan Istihsan................................................................. 7

Ø  Istishab

o   Pengertian Istishab............................................................. .... 8

o   Macam-Macam Istishab..................................................... .... 9

o   Kehujjahan Istishab............................................................... 10

À      Bab III Penutup

Ø  Kesimpulan.................................................................................. 12

Ø  Saran............................................................................................ 12

À      Daftar Pustaka.................................................................................. 13





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam  adalah agama yang  menghendaki  kemudahan bagi setiap pemeluknya. Syariat Islam  sejatinya tidaklah  memberikan kesulitan kepada umat selagi mereka mau berfikir dan mengembalikan  segalanya hanya kepada Allah, bertawakal serta meresapi hikmah-hikmah yang terkandung dalam penetapan sebuah syari’at. Konsep Islam yang rahmatan lil alamin jelas menunjukkan  kehujjahan Islam yang bersifat universal dan pada hakekatnya bisa menjadi logis berdasar pandangan seorang orientalis maupun misionaris sekalipun.
Pensyariatan  hukum Islam  tertinggi adalah al Quran dan al Hadits. Kemudian menyusul di bawahnya yakni ijma’ dan qiyas. Istihsan dan Istishab sendiri merupakan akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali oleh para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya.
Dalam  makalah ini, penulis menjelaskan lebih rinci mengenai pengertian istihsan dan istishab itu sendiri, kehujahannya.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian istihsan dan istishab?
2.      Apa saja macam-macam istihsan dan istishab?
3.      Bagaimana kehujjahan istihsan dan istishan?



C.     Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui istihsan dan istishab.
2.      Untuk mengetahui macam-macam istihsan dan istishab.
3.      Untuk mengetahui kehujjahan istihsan dan istishab.



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Istihsan
1.      Pengertian Istihsan
Dari segi bahasa, istishan berasal dari bahasa Arab yang musytaq dari lafadh hasana yang berarti baik atau indah, kemudian dalam otak-atik ilmu shorof meranah pada wazan istaf’ala: istihsanayastahsinuistihsanan (mashdar) yang berfaidah tholabiyah, jadi istihsanan dapat diartikan mencari kebaikan, menganggap baik sesuatu.[1]
Sedang menurut istilah Ulama’ Ushul, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian karena ada dalil dan dimenangkan olehnya perpindahan ini (hukum juz’i).[2]
Menurut Istilah ulama Ushul (Drs. H. Nasroen Haroen, M. A), istihsan adalah sebagai berikut ini.
a)      Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 : 137, “ Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
b)      Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “ Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunah.”
c)      Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzab Al-Maliki berkata, “ Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahahan yang bersiftat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
d)     Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “ Istihsan adalah perbuatan dalil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
e)      Menurut Muhammad Abu Zahrar, “Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi diatas.”
f)       Imam Al-Bazdawi (400-482 H/ 1010 – 1079 M) salah seorang ahli ushul mahdzab Hanafi menulis:
 الْعُدُوْلُ مِنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ اَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلٍ اَقْوَى مِنْهُ
Berpaling dari  kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat ataumengkhususan qiya beradarkan dalil  yang lebih kuat.( Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009)
g)      Ibnu Subki menyatakan :
عُدُوْلٌ عَنْ قِياَسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ  عُدُوْلٌ عَنِ الدَّلِيْلِ اِلَى الْعَادَةِ لِلْمُصْلَحَةِ
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiya lain yang laiin uat dari adanya (qiyas pertama). Beralih dar peggunaan ebudalil kepada adat kbiaaan karena suatu kemalahatan.( Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005)
h)      Al- Karakhi menerangkan :
الْعُدُوْلُ مِمَا حُكْمٍ بِهِ فِي نَظَائِرِ مَسْئَلَتِهِ اِلَى خِلاَفِهِ لِوَجْهِ اَقْوَى مِنْهُ
Istihsan itu adalah berpindah dari sesuat hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya , kepada huum yang berlawanan dengan dia lantaran ada suatu sebab yang dipandang lebih kuat. (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005).
Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang  lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih  sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
i)        Abu Hanifah menyatakan :
. اْلاِسْتِحْسَانُتِسْعَةُ اَعْشَارِ الْعِلْم
Ishtisan itu sembilan persepuluh ilmu (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005).
j)        Imam Malik sebaaimana dikutip Imam Syathibi, Ahli ushul fiqih mazhab Maliki, menulis:
اْلاَخْذُ بِمُصْلِحَةِ جُزْئِيَّةٍ فِي مُقَابَلَةِ دَلِيْلٍ كُلِّيٍّ    
Memberlakukan kemalahatan juz’i keika berhadapan dengan kaidah umum(Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009).
k)      Imam Syafi’i lebih tegas lagi (pendapatnya apakah istihsan  boleh atau tidak sebagai hujjah):
مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
Barang siapa menetapkan hukum dengan istihsan , berarti ia membuat  syariat sendiri (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005).
l)        Dikalangan  ulama Hanabiah, Ibn Qudamah (541 – 620 H/1147-1223 M) ahli ushul fiqh mazhab Hanbali, mendefinisikan:
الْعُدُوْلُ بِحُكْمِ الْمَسْآَلَةِ عَنْ نَظَائِرِ مَا لِدَلِيْلٍ خَاصٍ مِنْ كِتَابٍ اَوْ سُنَّةٍ

Berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat Al Quran maupun dari sunah Rasul(Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009).

2.      Macam-Macam Istihsan
Macam-macam istihsan adalah sebagai berikut:
a)      Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi. Pada dasarnya, bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jail  lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut mashab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatannya yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jail, maka qiyas jail itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang dikenal dengan istihsan qiyasi.[3]

b)      Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut. Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
1)      Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
2)      Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’, baik yang sharih maupun sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
3)      Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
4)      Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.

3.      Kehujjahan Istihsan
Istihsan sebenarnya semacam qiyas yaitu memenangkan qiyas khafi atas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berdasar ketentuan karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya[4]. Keduanya adalah istidlal yang shahih.
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui bahwa pada dasarnya istihsan bukanlah merupakan sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Sebab, dari bentuk yang pertama, adalah mengunggulkan qiyas yang samara daripada qiyas yang nyata. Karena hal itu dapat menentramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Dan bentuk yang ke-dua adalah kemashlahatan, yang menuntut adanya perkecualian dari hukum umum (kully) dan hal itu juga dianggap sebagai alasan istihsan.[5]
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan qiyas samar yang mengalahkan qiyas nyata, atau memenagkan qiyas yang satu terhadap qiyas lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar. Alasan kehujjahannya:
a.       Surah al Baqarah 185 yang artinya:
“.... Allah menghendaki ke kemudahan bagi kamudan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu .....”
b.      Surah az Zumar ayat 55:
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu ...”
c.       Hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud:
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah[6].

B.     Istishab
1.      Pengertian Istishab
Dari segi bahasa, Istishab berasal dari kata suhbah yang berarti menemani atau menyertai (tidak berpisah), mengakui adanya hubungan perkawinan, mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Sedangkan menurut istilah istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunujukkan perubahan keadaan atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Pandangan beberapa tokoh ushul tetang Istishab :
a.       Ibn Qayyim: Ishtishhab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan apa yang memang tiada sampai adanya dalil yang mengubah kedudukan berlakunya hukum itu.
b.      Imam Asnawi:  Istishhab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
c.       Imam al Ghazali: Istishhab adalah berpegang pada suatu dalil atau dalil syar’i bukan karena tiadanya adail bahkan hanya karena tidak ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut.
Sehingga terang bahwasanya apabila ada suatu perkara sudah ditetapkan pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum ada dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabila ada suatu perkara ditolak pada suatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.
2.      Macam-Macam Istishab
Menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu[7] :
a)      Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh).  Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat.  Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melaranganya.  Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
هو الذي خلق لكم ما في الارض جميعا ...
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu …”.
Ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di  bumi untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan. Apabila ada larangan, berarti pada makanan dan perbuatan tersebut berbahaya bagi manusia.
b)      Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah status itu.  Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang jelas.  Jadi seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c)      Istishab al-hukm
Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.  Misalnya : seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.
d)     Istishab al-washf
Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti  yang mengubahnya.  Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.

5.      Kehujjahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syar’i yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul berkata: “Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa“. Yaitu mengetahui atas suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan  dan ketetapan mereka.  Maka barang siapa yang mengetahui seorang masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.[8]
Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab.  Ulama yang menerima dan ulama yang menolaknya.  Ulama yang menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa dalam mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara mereka.  Ia dapat dijadikan dasar untuk penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya.  Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 29.
Sabda Rosulullah :
صو موالرؤيته وافطروالرؤيته فاءن غم عليكم فا كملو اعدة شعبا ن ثلا ثبن يوما

“Berpuasalah kamu karena dilihatnya anak bulan dan berbukalah kerena dilihatnya anak bulan.  Jika dihalangi awan dilihatnya anak bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban selama 30 hari”.
Yang demikian adalah merupakan Istishab dan tetapnya bulan Sya’ban selama belum tsabit dilihatnya anak bulan Ramadhan. Bahwa penelitian terhadap hukum syara’ membuktikan bahwa syar’i memutuskan hukum tetapnya keadaan yang sudah ditetapkan sebelum terjadi katentuan yang mengubahnya.  Khomr tetap haram sebelum ia menjadi cuka.  Perasan anggur tetap halal sebelum menadi khomr.  Pergaulan suami istri tetap halal antara suami istri sebelum hilang hubungan suami istri.[9]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini adalah istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian karena ada dalil dan dimenangkan olehnya perpindahan ini (hukum juz’i). Istihsan terbagi menjadi dua macam yaitu Istihsan Qiyasi dan Istihsan Istisnaiy. istihsan adalah suatu dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesutu yang telah ditetapkan qiyas atau keumuman nas.
Istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunujukkan perubahan keadaan atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu Istishab al-ibahah al-ashliyah, Istishab al-baraah al-ashliyah, Istishab al-hukm, dan  Istishab al-washf.  Istishab merupakan dalil syara’ yang terakhir yang dijadikan para Mujtahid sebagai tempat kembali dalam mengetahui  hukum bagi suatu peristiwa yang sedang mereka hadapi.

B.     Saran
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk menambahkan wawasan tentang istihsan dan istihsab.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar
Grafika, 1995.
Effendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2014.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama, 1994.
Umam, Chaerul. Ushul Fiqih I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Umar, Muin dkk. Ushul Fiqih I. Jakarta: Departemen Agama, 1986.





[1] Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 117.
[2] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h.110.
[3] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqih, Jakarta:  Kencana, 2014, h. 143.
[4] Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h..143.
[5] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 113.
[6] Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h 147-148.
[7] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2014, h. 160.
[8] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 128.
[9] Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995: 159



Terima kasih sudah mampir...
 Wassalamu'alaikum Wr. Wb.