Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Berikut adalah makalah AKHLAK GURU MENURUT AGAMA ISLAM yang telah saya susun. Maafkan apabila ada kesalahan yah. Semoga bermanfaat.
MAKALAH
ETIKA DAN PERKEMBANGAN PROFESI KEGURUAN
AKHLAK GURU MENURUT AGAMA ISLAM
OLEH:
NURAMALIYAH RAMADHANY/20700115056
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji syukur dihaturkan kehadirat Allah
SWT. yang memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis dalam
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya, tak lupa pula
penulis haturkan selawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. yang
telah menjadi suritauladan yang baik bagi manusia.
Berkenaan dengan tugas yang diberikan
oleh Dosen mata kuliah Etika dan Perkembangan Profesi Keguruan yaitu membuat
makalah yang berjudul “Akhlak Guru Menurut Agama Islam” maka penulis sebagai
Mahasiswa berjewajiban untuk mengerjakannya dan wajib mengumpulkan tepat pada
waktu yang telah ditentukan.
Terima kasih penulis haturkan kepada
Dosen mata kuliah Etika dan Perkembangan Profesi Keguruan yang telah
mempercayakan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap dengan adanya makalah
ini, dapat membantu teman-teman dalam memahami tentang Akhlak Guru Menurut
Agama Islam.
Samata-Gowa, 27 Oktober
2016
Nuramaliyah Ramadhany
DAFTAR ISI
À Kata
Pengantar
À Daftar
isi
À Bab I Pendahuluan
Ø Latar
Belakang
Ø Rumusan
Masalah
Ø Tujuan
À Bab II Pembahasan
Ø Definisi
Akhlak
Ø Akhlak
Guru Menurut Agama Islam
À Bab III Penutup
Ø Kesimpulan
Ø Saran
À Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seiring dengan berlalunya masa kenabian,
syariat Islam semakin tenggelam, dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia.
Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang
mulia dari umat ini. Terutama dalam pendidikan saat ini.
Sebuah kata pendidikan sudah tidak asing
lagi untuk di dengar, yang mana pendidikan merupakan suatu hal yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan di dunia ini. Tidak bisa di pungkiri dalam sebuah
pendidikan selalu terdapat tujuan yang ingin dicapai, tujuan tersebut bisa di
capai dengan adanya beberapa faktor, salah satunya dengan adanya seorang
pendidik, di dalam segi bahasa pendidik merupakan orang yang mendidik atau
memberikan pendidikan, sedangkan pendidik dalam pendidikan islam merupakan
seseorang yang berkewajiban karena tuntutan agama untuk menyalurkan ilmunya dan
bertanggung jawab atas ilmu yang di dapat dan di salurkan kepada orang lain,
yang mana agama menyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan tersebut, sedangkan
yang menerima amanat dan tanggung jawab sebuah pendidikan ialah semua orang
yang ada di bumi ini. Dengan kata lain pendidik merupakan suatu sifat yang
telah melekat dalam setiap jiwa manusia, seperti halnya orang tua yang wajib
untuk mendidik anaknya.
Maka dari itu, seorang pendidik harus
memiliki akhlak yang baik agar dapat menjadi teladan yang baik kepada peserta
didiknya.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa
definisi akhlak?
2. Bagaimana
akhlak guru menurut agama islam?
C. Tujuan
Tujuan
pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk
mengetahui definisi akhlak.
2. Untuk
mengetahui akhlak guru menurut agama islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Akhlak
Pengertian akhlak berdasarkan bahasa
atau etimologis, antara lain:
1. Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Kata akhlak dapat diartikan sebagai
kelakuan atau budi pekerti.[1]
2. Abudin
Nata
Secara etimologis kata akhlak berasal
dari bahasa Arab, yakni isim masdar (bentuk infinitif)
berasal dari kata akhlaqa, ikhlaqan, yukhliqu. Dan sesuai dengan
bentuk tsulasi majid wajan af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), tabi’ah (watak dasar, kelakuan, atau tabiat), al-‘adat (kebiasaan),
al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).[2]
3. Hamzah
Ya’qub
Kata akhlak mengandung sisi-sisi
penyesuaian dengan kata kholqun yang artinya kejadian dan kuat hubungannya
dengan Kholiq (Sang Pencipta) dan makhluq (yang diciptakan).
Pengertian akhlak lahir sebagai sarana yang kemungkinan-kemungkinan adanya
hubungan baik antara kholiq dan makhluq. Pendapat ini bersumber pada kalimat
yang tercantum dalam firman Allah SWT.
Artinya:
“Sesungguhnya
Engkau (Muhammad) memiliki budi pekerti yang luhur”. (Q.S. Al-Qalam [68] ayat 4).[3]
4. Ali
Abdul Halim Mahmud
Merujuk kepada pendapat Imam al-Ghazali,
bahasa kata al-Khalaq (fisik) dan al-Khuluq (akhlak) ialah dua
kata yang digunakan dengan bersama-sama. Misalnya, dalam redaksi bahasa Arab, “Fulan
husnu, alkhalaq wa alkhuluq”, yang berarti “Seorang yang lahir dan batinnya
baik”, sehingga al-khalaq berarti bentuk lahirnya, sedangkan al-khuluq artinya
bentuk batinnya. Hal ini disebabkan karena kodrat manusia yang sebenarnya
terdiri dari dua unsur yaitu unsur fisik dan non-fisik. Unsur fisik dapat
dilihat oleh mata (panca indera) dan unsur non-fisik yang hanya dapat dirasa
tetapi tidak terlihat secara kasat mata.[4]
5. Quraish
Shihab
Kata akhlak memiliki makna perangai,
kebiasaan, atau tabiat. Kata akhlak banyak ditemukan di dalam al-Hadits,
seperti di salah satu hadits Nabi yang sangat populer, “Innamaa Buitstu
Liutammimaa makarimal akhlak”, yang artinya, “ Sesungguhnya aku utus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Malik).[5]
Pengertian
akhlak berdasarkan istilah atau terminologis, antara lain:
1. Imam
Abu Hamadi Al-Ghazali
Sebagaimana mengatakan bahwa akhlak
adalah sifat yang tertanam (terpatri) dalam jiwa yang darinya menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan (perenungan) terlebih dahulu.[6]
2. Ibnu
Maskawih
Sebagaimana mengatakan akhlak adalah perangai
itu adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong kea rah melakukan perbuatan dengan
tidak menghajatkan pikiran.[7]
3. Ahmad
Amin
Sebagaimana mengatakan akhlak adalah suatu
ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan
apa yang harus diperbuat.[8]
4. Muhammad
bin Ali Asy-Syarif al-Jarjani
Dalam bukunya al-Ta’rifat, akhlak adalah
istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung.[9]
5. Muhammad
bin Ali al-Faruqi at-Tahanawi
Sebagaimana dikutip oleh Ali Abdul Halim
Mahmud (2004:34), dikatakan Ahlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat agama,
alami, harga diri,[10]
6. Muhyiddin
Ibnu Arabi
Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan
terlebih dahulu. Keadaan tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat
atau bawaan dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan dan
perjuangan.[11]
7. Syekh
Makarim Asy-Syirazi
Akhlak adalah sekumpulan keutamaan
maknawi dan tabiat batini manusia.[12]
8. Al-Faidh
Al-Kasyani
Akhlak adalah ungkapan untuk menunjukkan
kondisi yag mandiri dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan
mudah tanpa digahului perenungan dan pemikiran.[13]
Dari
penjelasan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ahlak merupakan segala
sesuatu yang telah ada dan tertanam pada diri seseorang, yang nantinya ahlak
dapat melahirkan segala perbuatan yang tidak harus melalui permikiran dan atau
perenungan seseorang itu terlebih dahulu. Ini berarti perbuatan-perbuatan yang
timbul nantinya terjadi secara refleks dan spontan tanpa harus dipikirkan
terlebih dahulu oleh seseorang tersebut. Jika dari sifat yang tertanam itu
menimbulkan perbuatan-perbuatan yang terpuji, maka sifat ini disebut dengan
ahlak yang baik (akhlak al-mahmudah). Namun, jika sebaliknya sifat tersebut
menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk maka sifat ini disebut juga dengan
ahlak yang buruk (ahlak al-mamdudah).
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan bahwa si
A misalnya sebagai orang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawn tersebut
telah mendarah daging, kapan dan di manapun sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas
yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tersebut kadang-kadang
dermawan dan kadang-kadang bakhil, maka si A tersebut belum dapat dikatakan
sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga jika kepada si B kita mengatakan
bahwa ia termasuk orang yang taat beribadah, maka sikap taat beribadah tersebut
telah dilakukannya di manapun ia berada.[14]
B. Akhlak
Guru Menurut Agama Islam
Untuk menjadi seorang pendidik yang
baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh
seorang guru, antara lain[15]:
1. Jika
praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat
terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai
penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada
diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi
yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
2. Karena
mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu),
maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya
itu.Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW.yang mengajar ilmu hanya karena
Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian
pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan
sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada
muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi
peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika
antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas
pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain
sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh,
segala sarana yang mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar,
serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit,
maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan
imbalan kesejahteraan yang memadai.
3. Seorang
guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang
jujur dan benar di hadapan murid-muridnya.Ia tidak boleh membiarkan muridnya
mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang
sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan
kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada
Allah SWT,.Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat
keduniaan.Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan
pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
4. Dalam
kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus
dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan
ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan
muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid yang
memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika
keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya
pengajaran yang baik.
5. Seorang
guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di
hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran
dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela
ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya.Kebiasaan seorang guru
yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir,
adalah guru yang tidak baik.
6. Seorang
guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi
yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan
tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali
menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas
kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran
yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan
rasa antipati atau merusak akal muridnya.
7. Seorang
guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami
perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat,
tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya.Kepada
murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan
hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya.Jika hal ini tidak dilakukan
oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan
ragu-ragu.
8. Seorang
guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya,
serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa.Dalam hubungan ini
Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika
hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan
menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia
kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi
mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dalam konteks pendidikan islam, guru
adala spiritual father atau bapak
rohani bagi murid. Guru yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan
akhlak dan membenarkannya, maka menghormati guru berarti penghormatan terhadap
anak-anak pula.[16]
Dalam kenyataannya
untuk membedakan antara tugas, syarat, dan sifat sangat sulit. Sifat merupakan
pelengkap dari syarat-syarat, sehingga pendidik bisa dikatakan memenuhi syarat
maksimal. Oleh karena itu, menjadi pendidik hendaklah memiliki sifat-sifat sebagai
berikut[17]:
1. Zuhud
dan iklhas.
2. Bersih
lahir dan batin.
3. Pemaaf,
sabar, dan mampu mengendalikan diri.
4. Bersifat
kebapakan atau keibuan (dewasa).
5. Mengenal
dan memahami pesrta didik dengan baik (baik secara individual maupun kolektif).
Para ahli pendidikan Islam selalu
mencampurkan tugas, syarat, dan sifat guru. Hal ini dapat dipahami karena
ketiganya memang mempunyai hubungan yang sangat erat. Sifat-sifat guru yang
dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut[18]:
1. Kasih
sayang kepada anak didik.
2. Lemah
lembut.
3. Rendah
hati.
4. Menghormati
ilmu yang bukan pegangannya.
5. Adil
6. Menyenangi
ijtihad.
7. Konsekuen,
perkataan sesuai dengan perbuatan.
8. Sederhana.
Agar seorang pendidik dapat menjalankan
fungsi sebagaimana yang telahdibebankan Allah kepada Rasul dan pengikutnya,
maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini[19]:
1. Setiap
pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika
seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya
bertujuan menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang
jejak keagungan-Nya.
2. Seorang
guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya,
aktifitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan
keilmuannya, lebih jauh dari ituharus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah
serta mewujudkan kebenaran.
3. Seorang
pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
4. Ketika
menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki
kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
5. Seorang
guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.
6. Seorang
pendidik harus cerdik dan terampil dalammenciptakan metode pengajaran yang
variatif serta sesuai dengan situasi danmateri pelajaran.
7. Seorang
guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya
sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
8. Seorang
guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan
psikologi pendidikan sehingga ketika diamengajar, dia akan memahami dan
memperlakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan
psikologisnya.
9. Seorang
guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu
memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap
anak didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
10. Seorang
guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan
pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Ahlak
merupakan segala sesuatu yang telah ada dan tertanam pada diri seseorang, yang
nantinya ahlak dapat melahirkan segala perbuatan yang tidak harus melalui
permikiran dan atau perenungan seseorang itu terlebih dahulu.
2. Al-Ghazali
berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang
selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat
fisiknya Dengan kesempurnaan akal ia
dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya
yang baik ia dapat menjadi contoh dan
teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan
tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
B. Saran
Saran
yang dapat diberikan dari makalah ini adalah sebaiknya, sebagai seorang guru
maupun pendidik, alangkah lebih baik jika kita dapat memenuhu akhlak guru
menurut agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. Ihya ulum al-Din juz 1. Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1951.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010.
Assegaf, Abd. RAchman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
An-Nahlawi, Abdurrahman.
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat. Jakarta: Gema Insani, 1996.
Djatnika, Rachmat. Sistem Ethika Islam. Surabaya: Pustaka
Islam, 1996.
Mahmud, Ali Abdul
Halim. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema
Insani Press, 2004.
Mahmud, Heri Gunawan,
dan Yuyun Yulianingsih. Pendidikan Agama
Islam Dalam Keluarga. Jakarta: Akademia Permata, 2013.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta:
Rajawali Press, 2008.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta:
LKiSYogyakarta, 2009.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.
Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2011.
Wahmuji. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Empat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah.
Bandung: CV. Pedoman Ilmu, 1993.
[1]Wahmuji, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Empat (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 27.
[2]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2008), h. 2.
[3]Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Bandung:
CV. Pedoman Ilmu, 1993), h. 11.
[4]Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), h. 28.
[5]Mahmud, Heri Gunawan, dan Yuyun
Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam
Dalam Keluarga (Jakarta: Akademia Permata, 2013), h. 187.
[6]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 2008), h. 2.
[7]Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Surabaya: Pustaka
Islam, 1996), h. 26.
[8]Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Bandung:
CV. Pedoman Ilmu, 1993), h. 12.
[9]Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), h. 32.
[10]Ibid, h. 34.
[11]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010), h. 13.
[12] Ibid, h. 14.
[13]Ibid, h. 15.
[14]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 4-5.
[15]Imam al-Ghazali, Ihya ulum al-Din juz 1 (Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1951), h. 50-51.
[16] Abd. RAchman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 111
[17] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta:
LKiSYogyakarta, 2009), h. 44.
[18]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung:
Pt Remaja Rosdakarya, 2011), h. 84.
[19]Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta:
Gema Insani, 1996), h. 170-175.
Terima kasih sudah mampir...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.