Kamis, 05 Januari 2017

AKHLAK GURU MENURUT AGAMA ISLAM





Assalamu'alaikum Wr. Wb. 
Berikut adalah makalah AKHLAK GURU MENURUT AGAMA ISLAM yang telah saya susun. Maafkan apabila ada kesalahan yah. Semoga bermanfaat.



MAKALAH
ETIKA DAN PERKEMBANGAN PROFESI KEGURUAN
AKHLAK GURU MENURUT AGAMA ISLAM

OLEH:

NURAMALIYAH RAMADHANY/20700115056
 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
2016



KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur dihaturkan kehadirat Allah SWT. yang memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya, tak lupa pula penulis haturkan selawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. yang telah menjadi suritauladan yang baik bagi manusia.
Berkenaan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah Etika dan Perkembangan Profesi Keguruan yaitu membuat makalah yang berjudul “Akhlak Guru Menurut Agama Islam” maka penulis sebagai Mahasiswa berjewajiban untuk mengerjakannya dan wajib mengumpulkan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Terima kasih penulis haturkan kepada Dosen mata kuliah Etika dan Perkembangan Profesi Keguruan yang telah mempercayakan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat membantu teman-teman dalam memahami tentang Akhlak Guru Menurut Agama Islam.
Samata-Gowa, 27 Oktober 2016

Nuramaliyah Ramadhany



DAFTAR ISI

À      Kata Pengantar
À      Daftar isi
À      Bab I Pendahuluan
Ø  Latar Belakang
Ø  Rumusan Masalah
Ø  Tujuan
À      Bab II Pembahasan
Ø  Definisi Akhlak
Ø  Akhlak Guru Menurut Agama Islam
À      Bab III Penutup
Ø  Kesimpulan
Ø  Saran
À      Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seiring dengan berlalunya masa kenabian, syariat Islam semakin tenggelam, dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang mulia dari umat ini. Terutama dalam pendidikan saat ini.
Sebuah kata pendidikan sudah tidak asing lagi untuk di dengar, yang mana pendidikan merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh dalam kehidupan di dunia ini. Tidak bisa di pungkiri dalam sebuah pendidikan selalu terdapat tujuan yang ingin dicapai, tujuan tersebut bisa di capai dengan adanya beberapa faktor, salah satunya dengan adanya seorang pendidik, di dalam segi bahasa pendidik merupakan orang yang mendidik atau memberikan pendidikan, sedangkan pendidik dalam pendidikan islam merupakan seseorang yang berkewajiban karena tuntutan agama untuk menyalurkan ilmunya dan bertanggung jawab atas ilmu yang di dapat dan di salurkan kepada orang lain, yang mana agama menyerahkan tanggung jawab dan amanat pendidikan tersebut, sedangkan yang menerima amanat dan tanggung jawab sebuah pendidikan ialah semua orang yang ada di bumi ini. Dengan kata lain pendidik merupakan suatu sifat yang telah melekat dalam setiap jiwa manusia, seperti halnya orang tua yang wajib untuk mendidik anaknya.
Maka dari itu, seorang pendidik harus memiliki akhlak yang baik agar dapat menjadi teladan yang baik kepada peserta didiknya.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Apa definisi akhlak?
2.      Bagaimana akhlak guru menurut agama islam?
C.     Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui definisi akhlak.
2.      Untuk mengetahui akhlak guru menurut agama islam.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Akhlak
Pengertian akhlak berdasarkan bahasa atau etimologis, antara lain:
1.      Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kata akhlak dapat diartikan sebagai kelakuan atau budi pekerti.[1]
2.      Abudin Nata
Secara etimologis kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yakni isim masdar (bentuk infinitif) berasal dari kata akhlaqa, ikhlaqan, yukhliqu. Dan sesuai dengan bentuk tsulasi majid wajan af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), tabi’ah (watak dasar, kelakuan, atau tabiat), al-‘adat (kebiasaan), al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).[2]
3.      Hamzah Ya’qub
Kata akhlak mengandung sisi-sisi penyesuaian dengan kata kholqun yang artinya kejadian dan kuat hubungannya dengan Kholiq (Sang Pencipta) dan makhluq (yang diciptakan). Pengertian akhlak lahir sebagai sarana yang kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan baik antara kholiq dan makhluq. Pendapat ini bersumber pada kalimat yang tercantum dalam firman Allah SWT.


 
Artinya:
“Sesungguhnya Engkau (Muhammad) memiliki budi pekerti yang luhur”. (Q.S. Al-Qalam [68] ayat 4).[3]
4.      Ali Abdul Halim Mahmud
Merujuk kepada pendapat Imam al-Ghazali, bahasa kata al-Khalaq (fisik) dan al-Khuluq (akhlak) ialah dua kata yang digunakan dengan bersama-sama. Misalnya, dalam redaksi bahasa Arab, “Fulan husnu, alkhalaq wa alkhuluq”, yang berarti “Seorang yang lahir dan batinnya baik”, sehingga al-khalaq berarti bentuk lahirnya, sedangkan al-khuluq artinya bentuk batinnya. Hal ini disebabkan karena kodrat manusia yang sebenarnya terdiri dari dua unsur yaitu unsur fisik dan non-fisik. Unsur fisik dapat dilihat oleh mata (panca indera) dan unsur non-fisik yang hanya dapat dirasa tetapi tidak terlihat secara kasat mata.[4]
5.      Quraish Shihab
Kata akhlak memiliki makna perangai, kebiasaan, atau tabiat. Kata akhlak banyak ditemukan di dalam al-Hadits, seperti di salah satu hadits Nabi yang sangat populer, “Innamaa Buitstu Liutammimaa makarimal akhlak”, yang artinya, “ Sesungguhnya aku utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Malik).[5]
Pengertian akhlak berdasarkan istilah atau terminologis, antara lain:
1.      Imam Abu Hamadi Al-Ghazali
Sebagaimana mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam (terpatri) dalam jiwa yang darinya menimbulkan perbuatan-perbuatan yang gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (perenungan) terlebih dahulu.[6]

 2.      Ibnu Maskawih
Sebagaimana mengatakan akhlak adalah perangai itu adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong kea rah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran.[7]
3.      Ahmad Amin
Sebagaimana mengatakan akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[8]
4.      Muhammad bin Ali Asy-Syarif al-Jarjani
Dalam bukunya al-Ta’rifat, akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung.[9]
5.      Muhammad bin Ali al-Faruqi at-Tahanawi
Sebagaimana dikutip oleh Ali Abdul Halim Mahmud (2004:34), dikatakan Ahlak adalah keseluruhannya kebiasaan, sifat agama, alami, harga diri,[10]
6.      Muhyiddin Ibnu Arabi
Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu. Keadaan tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau bawaan dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan dan perjuangan.[11]
7.      Syekh Makarim Asy-Syirazi
Akhlak adalah sekumpulan keutamaan maknawi dan tabiat batini manusia.[12]
8.      Al-Faidh Al-Kasyani
Akhlak adalah ungkapan untuk menunjukkan kondisi yag mandiri dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa digahului perenungan dan pemikiran.[13]
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ahlak merupakan segala sesuatu yang telah ada dan tertanam pada diri seseorang, yang nantinya ahlak dapat melahirkan segala perbuatan yang tidak harus melalui permikiran dan atau perenungan seseorang itu terlebih dahulu. Ini berarti perbuatan-perbuatan yang timbul nantinya terjadi secara refleks dan spontan tanpa harus dipikirkan terlebih dahulu oleh seseorang tersebut. Jika dari sifat yang tertanam itu menimbulkan perbuatan-perbuatan yang terpuji, maka sifat ini disebut dengan ahlak yang baik (akhlak al-mahmudah). Namun, jika sebaliknya sifat tersebut menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk maka sifat ini disebut juga dengan ahlak yang buruk (ahlak al-mamdudah).
  Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan bahwa si A misalnya sebagai orang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawn tersebut telah mendarah daging, kapan dan di manapun sikapnya  itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika si A tersebut kadang-kadang dermawan dan kadang-kadang bakhil, maka si A tersebut belum dapat dikatakan sebagai seorang yang dermawan. Demikian juga jika kepada si B kita mengatakan bahwa ia termasuk orang yang taat beribadah, maka sikap taat beribadah tersebut telah dilakukannya di manapun ia berada.[14]
B.     Akhlak Guru Menurut Agama Islam
Untuk menjadi seorang pendidik yang baik, Imam Al-Ghazali menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang guru, antara lain[15]:
1.      Jika praktek mengajar merupakan keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
2.      Karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu.Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW.yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
3.      Seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya.Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT,.Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan.Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
4.      Dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.
5.      Seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya.Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
6.      Seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
7.      Seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya.Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya.Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
8.      Seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa.Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dalam konteks pendidikan islam, guru adala spiritual father atau bapak rohani bagi murid. Guru yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya, maka menghormati guru berarti penghormatan terhadap anak-anak pula.[16]
Dalam kenyataannya untuk membedakan antara tugas, syarat, dan sifat sangat sulit. Sifat merupakan pelengkap dari syarat-syarat, sehingga pendidik bisa dikatakan memenuhi syarat maksimal. Oleh karena itu, menjadi pendidik hendaklah memiliki sifat-sifat sebagai berikut[17]:
1.      Zuhud dan iklhas.
2.      Bersih lahir dan batin.
3.      Pemaaf, sabar, dan mampu mengendalikan diri.
4.      Bersifat kebapakan atau keibuan (dewasa).
5.      Mengenal dan memahami pesrta didik dengan baik (baik secara individual maupun kolektif).
Para ahli pendidikan Islam selalu mencampurkan tugas, syarat, dan sifat guru. Hal ini dapat dipahami karena ketiganya memang mempunyai hubungan yang sangat erat. Sifat-sifat guru yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disederhanakan sebagai berikut[18]:
1.      Kasih sayang kepada anak didik.
2.      Lemah lembut.
3.      Rendah hati.
4.      Menghormati ilmu yang bukan pegangannya.
5.      Adil
6.      Menyenangi ijtihad.
7.      Konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan.
8.      Sederhana.
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telahdibebankan Allah kepada Rasul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini[19]:
1.      Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya.
2.      Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktifitas sebagai pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari ituharus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah serta mewujudkan kebenaran.
3.      Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
4.      Ketika menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
5.      Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.
6.      Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalammenciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi danmateri pelajaran.
7.      Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
8.      Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan sehingga ketika diamengajar, dia akan memahami dan memperlakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologisnya.
9.      Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap anak didik, terutama dampak terhadap akidah dan pola pikir mereka.
10.  Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Ahlak merupakan segala sesuatu yang telah ada dan tertanam pada diri seseorang, yang nantinya ahlak dapat melahirkan segala perbuatan yang tidak harus melalui permikiran dan atau perenungan seseorang itu terlebih dahulu.
2.      Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya  Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh  dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
B.     Saran
Saran yang dapat diberikan dari makalah ini adalah sebaiknya, sebagai seorang guru maupun pendidik, alangkah lebih baik jika kita dapat memenuhu akhlak guru menurut agama islam.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. Ihya ulum al-Din juz 1. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1951.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Assegaf, Abd. RAchman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani, 1996.
Djatnika, Rachmat. Sistem Ethika Islam. Surabaya: Pustaka Islam, 1996.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Mahmud, Heri Gunawan, dan Yuyun Yulianingsih. Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga. Jakarta: Akademia Permata, 2013.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiSYogyakarta, 2009.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2011.
Wahmuji. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Empat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah. Bandung: CV. Pedoman Ilmu, 1993.



[1]Wahmuji, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Empat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 27.
[2]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 2.
[3]Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Bandung: CV. Pedoman Ilmu, 1993), h. 11.
[4]Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 28.
[5]Mahmud, Heri Gunawan, dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga (Jakarta: Akademia Permata, 2013), h. 187.
[6]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 2. 
[7]Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Surabaya: Pustaka Islam, 1996), h. 26.
[8]Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Bandung: CV. Pedoman Ilmu, 1993), h. 12.
[9]Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 32.
[10]Ibid, h. 34.
[11]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 13.
[12] Ibid, h. 14.
[13]Ibid, h. 15.
[14]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 4-5.
[15]Imam al-Ghazali, Ihya ulum al-Din juz 1 (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1951),  h. 50-51.
[16] Abd. RAchman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 111
[17] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam  (Yogyakarta: LKiSYogyakarta, 2009),  h. 44.
[18]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2011), h. 84.
[19]Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani, 1996), h. 170-175.

Terima kasih sudah mampir...
 Wassalamu'alaikum Wr. Wb.