Kamis, 06 April 2017

ISTIHSAN DAN ISTISHAB






Assalamu'alaikum Wr. Wb. 



Berikut adalah ISTIHSAN DAN ISTISHAB yang telah saya susun. Maafkan apabila ada kesalahan yah. Semoga bermanfaat.


MAKALAH

“ISTIHSAN DAN ISTISHAB”


Disusun Oleh

Kelompok VII


Nuramaliyah Ramadhany

Besse Wirdayani
 Salmawati



PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

2016

Kata Pengantar


Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nya sehingga kami telah menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul “Istihsan dan Istishab”. Tak lupa pula kita kirimkan salawat dan salam kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang-benderang.

Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya khusus kepada Ibu Dra. Hj. Muliati M. P.di dan Mahasiswa Pendidikan Matematika Angkatan 2015 yang senantiasa menyemangati kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami tahu bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna terutama bahan-bahan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kami berharap agar para pembaca dapat memberikan kritikan dan saran yang membangun dan berguna bagi kami kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan bagi pembacanya.



Samata-Gowa, 28 April 2016




Daftar Isi

À      Kata Pengantar....................................................................................... i

À      Daftar isi................................................................................................ ii

À      Bab I Pendahuluan

Ø  Latar Belakang............................................................................... 1

Ø  Rumusan Masalah.......................................................................... 1

Ø  Tujuan............................................................................................ 2

À      Bab II Pembahasan

Ø  Istihsan

o   Pengertian Istihsan.................................................................. 3

o   Macam-Macam Istihsan.......................................................... 5

o   Kehujjahan Istihsan................................................................. 7

Ø  Istishab

o   Pengertian Istishab............................................................. .... 8

o   Macam-Macam Istishab..................................................... .... 9

o   Kehujjahan Istishab............................................................... 10

À      Bab III Penutup

Ø  Kesimpulan.................................................................................. 12

Ø  Saran............................................................................................ 12

À      Daftar Pustaka.................................................................................. 13





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam  adalah agama yang  menghendaki  kemudahan bagi setiap pemeluknya. Syariat Islam  sejatinya tidaklah  memberikan kesulitan kepada umat selagi mereka mau berfikir dan mengembalikan  segalanya hanya kepada Allah, bertawakal serta meresapi hikmah-hikmah yang terkandung dalam penetapan sebuah syari’at. Konsep Islam yang rahmatan lil alamin jelas menunjukkan  kehujjahan Islam yang bersifat universal dan pada hakekatnya bisa menjadi logis berdasar pandangan seorang orientalis maupun misionaris sekalipun.
Pensyariatan  hukum Islam  tertinggi adalah al Quran dan al Hadits. Kemudian menyusul di bawahnya yakni ijma’ dan qiyas. Istihsan dan Istishab sendiri merupakan akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali oleh para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya.
Dalam  makalah ini, penulis menjelaskan lebih rinci mengenai pengertian istihsan dan istishab itu sendiri, kehujahannya.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian istihsan dan istishab?
2.      Apa saja macam-macam istihsan dan istishab?
3.      Bagaimana kehujjahan istihsan dan istishan?



C.     Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui istihsan dan istishab.
2.      Untuk mengetahui macam-macam istihsan dan istishab.
3.      Untuk mengetahui kehujjahan istihsan dan istishab.



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Istihsan
1.      Pengertian Istihsan
Dari segi bahasa, istishan berasal dari bahasa Arab yang musytaq dari lafadh hasana yang berarti baik atau indah, kemudian dalam otak-atik ilmu shorof meranah pada wazan istaf’ala: istihsanayastahsinuistihsanan (mashdar) yang berfaidah tholabiyah, jadi istihsanan dapat diartikan mencari kebaikan, menganggap baik sesuatu.[1]
Sedang menurut istilah Ulama’ Ushul, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian karena ada dalil dan dimenangkan olehnya perpindahan ini (hukum juz’i).[2]
Menurut Istilah ulama Ushul (Drs. H. Nasroen Haroen, M. A), istihsan adalah sebagai berikut ini.
a)      Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 : 137, “ Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
b)      Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “ Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunah.”
c)      Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzab Al-Maliki berkata, “ Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahahan yang bersiftat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
d)     Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “ Istihsan adalah perbuatan dalil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
e)      Menurut Muhammad Abu Zahrar, “Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi diatas.”
f)       Imam Al-Bazdawi (400-482 H/ 1010 – 1079 M) salah seorang ahli ushul mahdzab Hanafi menulis:
 الْعُدُوْلُ مِنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ اَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلٍ اَقْوَى مِنْهُ
Berpaling dari  kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat ataumengkhususan qiya beradarkan dalil  yang lebih kuat.( Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009)
g)      Ibnu Subki menyatakan :
عُدُوْلٌ عَنْ قِياَسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ  عُدُوْلٌ عَنِ الدَّلِيْلِ اِلَى الْعَادَةِ لِلْمُصْلَحَةِ
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiya lain yang laiin uat dari adanya (qiyas pertama). Beralih dar peggunaan ebudalil kepada adat kbiaaan karena suatu kemalahatan.( Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005)
h)      Al- Karakhi menerangkan :
الْعُدُوْلُ مِمَا حُكْمٍ بِهِ فِي نَظَائِرِ مَسْئَلَتِهِ اِلَى خِلاَفِهِ لِوَجْهِ اَقْوَى مِنْهُ
Istihsan itu adalah berpindah dari sesuat hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya , kepada huum yang berlawanan dengan dia lantaran ada suatu sebab yang dipandang lebih kuat. (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005).
Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang  lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih  sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
i)        Abu Hanifah menyatakan :
. اْلاِسْتِحْسَانُتِسْعَةُ اَعْشَارِ الْعِلْم
Ishtisan itu sembilan persepuluh ilmu (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005).
j)        Imam Malik sebaaimana dikutip Imam Syathibi, Ahli ushul fiqih mazhab Maliki, menulis:
اْلاَخْذُ بِمُصْلِحَةِ جُزْئِيَّةٍ فِي مُقَابَلَةِ دَلِيْلٍ كُلِّيٍّ    
Memberlakukan kemalahatan juz’i keika berhadapan dengan kaidah umum(Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009).
k)      Imam Syafi’i lebih tegas lagi (pendapatnya apakah istihsan  boleh atau tidak sebagai hujjah):
مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
Barang siapa menetapkan hukum dengan istihsan , berarti ia membuat  syariat sendiri (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005).
l)        Dikalangan  ulama Hanabiah, Ibn Qudamah (541 – 620 H/1147-1223 M) ahli ushul fiqh mazhab Hanbali, mendefinisikan:
الْعُدُوْلُ بِحُكْمِ الْمَسْآَلَةِ عَنْ نَظَائِرِ مَا لِدَلِيْلٍ خَاصٍ مِنْ كِتَابٍ اَوْ سُنَّةٍ

Berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat Al Quran maupun dari sunah Rasul(Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009).

2.      Macam-Macam Istihsan
Macam-macam istihsan adalah sebagai berikut:
a)      Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi. Pada dasarnya, bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jail  lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut mashab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatannya yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jail, maka qiyas jail itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang dikenal dengan istihsan qiyasi.[3]

b)      Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut. Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu :
1)      Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
2)      Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’, baik yang sharih maupun sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
3)      Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
4)      Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.

3.      Kehujjahan Istihsan
Istihsan sebenarnya semacam qiyas yaitu memenangkan qiyas khafi atas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berdasar ketentuan karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya[4]. Keduanya adalah istidlal yang shahih.
Berdasarkan definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui bahwa pada dasarnya istihsan bukanlah merupakan sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Sebab, dari bentuk yang pertama, adalah mengunggulkan qiyas yang samara daripada qiyas yang nyata. Karena hal itu dapat menentramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Dan bentuk yang ke-dua adalah kemashlahatan, yang menuntut adanya perkecualian dari hukum umum (kully) dan hal itu juga dianggap sebagai alasan istihsan.[5]
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi. Mereka beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan qiyas samar yang mengalahkan qiyas nyata, atau memenagkan qiyas yang satu terhadap qiyas lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar. Alasan kehujjahannya:
a.       Surah al Baqarah 185 yang artinya:
“.... Allah menghendaki ke kemudahan bagi kamudan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu .....”
b.      Surah az Zumar ayat 55:
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu ...”
c.       Hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud:
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah[6].

B.     Istishab
1.      Pengertian Istishab
Dari segi bahasa, Istishab berasal dari kata suhbah yang berarti menemani atau menyertai (tidak berpisah), mengakui adanya hubungan perkawinan, mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Sedangkan menurut istilah istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunujukkan perubahan keadaan atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Pandangan beberapa tokoh ushul tetang Istishab :
a.       Ibn Qayyim: Ishtishhab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau meniadakan apa yang memang tiada sampai adanya dalil yang mengubah kedudukan berlakunya hukum itu.
b.      Imam Asnawi:  Istishhab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
c.       Imam al Ghazali: Istishhab adalah berpegang pada suatu dalil atau dalil syar’i bukan karena tiadanya adail bahkan hanya karena tidak ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut.
Sehingga terang bahwasanya apabila ada suatu perkara sudah ditetapkan pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum ada dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabila ada suatu perkara ditolak pada suatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.
2.      Macam-Macam Istishab
Menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu[7] :
a)      Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh).  Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat.  Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melaranganya.  Misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
هو الذي خلق لكم ما في الارض جميعا ...
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu …”.
Ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di  bumi untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan. Apabila ada larangan, berarti pada makanan dan perbuatan tersebut berbahaya bagi manusia.
b)      Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah status itu.  Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang jelas.  Jadi seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c)      Istishab al-hukm
Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.  Misalnya : seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.
d)     Istishab al-washf
Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti  yang mengubahnya.  Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.

5.      Kehujjahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syar’i yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul berkata: “Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa“. Yaitu mengetahui atas suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan  dan ketetapan mereka.  Maka barang siapa yang mengetahui seorang masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.[8]
Sebagai yang dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab.  Ulama yang menerima dan ulama yang menolaknya.  Ulama yang menerima Istishab sebagai hujjah berarguman bahwa dalam mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara mereka.  Ia dapat dijadikan dasar untuk penentuan hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya.  Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 29.
Sabda Rosulullah :
صو موالرؤيته وافطروالرؤيته فاءن غم عليكم فا كملو اعدة شعبا ن ثلا ثبن يوما

“Berpuasalah kamu karena dilihatnya anak bulan dan berbukalah kerena dilihatnya anak bulan.  Jika dihalangi awan dilihatnya anak bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban selama 30 hari”.
Yang demikian adalah merupakan Istishab dan tetapnya bulan Sya’ban selama belum tsabit dilihatnya anak bulan Ramadhan. Bahwa penelitian terhadap hukum syara’ membuktikan bahwa syar’i memutuskan hukum tetapnya keadaan yang sudah ditetapkan sebelum terjadi katentuan yang mengubahnya.  Khomr tetap haram sebelum ia menjadi cuka.  Perasan anggur tetap halal sebelum menadi khomr.  Pergaulan suami istri tetap halal antara suami istri sebelum hilang hubungan suami istri.[9]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini adalah istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian karena ada dalil dan dimenangkan olehnya perpindahan ini (hukum juz’i). Istihsan terbagi menjadi dua macam yaitu Istihsan Qiyasi dan Istihsan Istisnaiy. istihsan adalah suatu dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesutu yang telah ditetapkan qiyas atau keumuman nas.
Istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunujukkan perubahan keadaan atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu Istishab al-ibahah al-ashliyah, Istishab al-baraah al-ashliyah, Istishab al-hukm, dan  Istishab al-washf.  Istishab merupakan dalil syara’ yang terakhir yang dijadikan para Mujtahid sebagai tempat kembali dalam mengetahui  hukum bagi suatu peristiwa yang sedang mereka hadapi.

B.     Saran
Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk menambahkan wawasan tentang istihsan dan istihsab.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar
Grafika, 1995.
Effendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2014.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama, 1994.
Umam, Chaerul. Ushul Fiqih I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Umar, Muin dkk. Ushul Fiqih I. Jakarta: Departemen Agama, 1986.





[1] Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 117.
[2] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h.110.
[3] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqih, Jakarta:  Kencana, 2014, h. 143.
[4] Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h..143.
[5] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 113.
[6] Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h 147-148.
[7] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2014, h. 160.
[8] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 128.
[9] Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995: 159



Terima kasih sudah mampir...
 Wassalamu'alaikum Wr. Wb.