Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Berikut adalah ISTIHSAN
DAN ISTISHAB yang telah saya susun. Maafkan apabila ada kesalahan yah. Semoga bermanfaat.
MAKALAH
“ISTIHSAN
DAN ISTISHAB”
Disusun
Oleh
Kelompok
VII
Nuramaliyah
Ramadhany
Besse
Wirdayani
Salmawati
PENDIDIKAN
MATEMATIKA
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2016
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan
karunia-Nya sehingga kami telah menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul
“Istihsan
dan Istishab”. Tak lupa pula kita kirimkan salawat dan salam kepada junjungan
kita, Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam
yang terang-benderang.
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya khusus kepada Ibu Dra. Hj. Muliati M. P.di dan Mahasiswa
Pendidikan Matematika Angkatan 2015 yang senantiasa menyemangati kami dalam
pembuatan makalah ini.
Kami tahu bahwa makalah
ini jauh dari kata sempurna terutama bahan-bahan yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu, kami berharap agar para pembaca dapat memberikan kritikan dan saran
yang membangun dan berguna bagi kami kedepannya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan bagi pembacanya.
Samata-Gowa, 28 April 2016
Daftar Isi
À Kata
Pengantar....................................................................................... i
À Daftar
isi................................................................................................ ii
À Bab I Pendahuluan
Ø Latar
Belakang............................................................................... 1
Ø Rumusan
Masalah.......................................................................... 1
Ø Tujuan............................................................................................ 2
À Bab II Pembahasan
Ø Istihsan
o
Pengertian Istihsan.................................................................. 3
o
Macam-Macam Istihsan.......................................................... 5
o
Kehujjahan Istihsan................................................................. 7
Ø Istishab
o
Pengertian Istishab............................................................. .... 8
o
Macam-Macam Istishab..................................................... .... 9
o
Kehujjahan Istishab............................................................... 10
À Bab III Penutup
Ø Kesimpulan.................................................................................. 12
Ø Saran............................................................................................ 12
À Daftar Pustaka.................................................................................. 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam adalah agama yang menghendaki kemudahan bagi setiap pemeluknya. Syariat
Islam sejatinya tidaklah memberikan kesulitan kepada umat selagi mereka
mau berfikir dan mengembalikan segalanya
hanya kepada Allah, bertawakal serta meresapi hikmah-hikmah yang terkandung
dalam penetapan sebuah syari’at. Konsep Islam yang rahmatan lil alamin
jelas menunjukkan kehujjahan
Islam yang bersifat universal dan pada hakekatnya bisa menjadi logis berdasar
pandangan seorang orientalis maupun misionaris sekalipun.
Pensyariatan hukum Islam tertinggi adalah al Quran dan al Hadits.
Kemudian menyusul di bawahnya yakni ijma’ dan qiyas. Istihsan dan
Istishab sendiri merupakan akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali
oleh para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan
kepadanya.
Dalam makalah ini, penulis menjelaskan lebih rinci
mengenai pengertian istihsan dan istishab itu sendiri, kehujahannya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian istihsan dan
istishab?
2. Apa saja macam-macam istihsan dan
istishab?
3. Bagaimana kehujjahan istihsan dan
istishan?
C. Tujuan
Tujuan
pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui istihsan dan istishab.
2. Untuk
mengetahui macam-macam istihsan dan istishab.
3. Untuk
mengetahui kehujjahan istihsan dan istishab.
BAB
I
PEMBAHASAN
A. Istihsan
1. Pengertian
Istihsan
Dari segi
bahasa, istishan berasal dari bahasa Arab yang musytaq dari lafadh hasana
yang berarti baik atau indah, kemudian dalam otak-atik ilmu shorof meranah pada
wazan istaf’ala: istihsana – yastahsinu – istihsanan
(mashdar) yang berfaidah tholabiyah, jadi istihsanan dapat diartikan
mencari kebaikan, menganggap baik sesuatu.[1]
Sedang menurut
istilah Ulama’ Ushul, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas jail (nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari
hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian karena ada dalil dan
dimenangkan olehnya perpindahan ini (hukum juz’i).[2]
Menurut
Istilah ulama Ushul (Drs. H. Nasroen Haroen, M. A), istihsan adalah
sebagai berikut ini.
a) Menurut Al-Ghazali dalam
kitabnya Al-Mustashfa juz 1 : 137, “ Istihsan adalah semua
hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
b) Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali
berkata, “ Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan
pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunah.”
c) Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzab
Al-Maliki berkata, “ Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahahan
yang bersiftat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
d) Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi
Al-Hanafi, “ Istihsan adalah perbuatan dalil terhadap suatu
permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang
lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
e) Menurut Muhammad Abu Zahrar,
“Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi diatas.”
f) Imam Al-Bazdawi (400-482 H/ 1010 –
1079 M) salah seorang ahli ushul mahdzab Hanafi menulis:
الْعُدُوْلُ مِنْ مُوْجِبِ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى
مِنْهُ اَوْ هُوَ تَخْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلٍ اَقْوَى مِنْهُ
Berpaling dari kehendak
qiyas kepada qiyas yang lebih kuat ataumengkhususan qiya beradarkan
dalil yang lebih kuat.( Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A.
2009)
g) Ibnu Subki menyatakan :
عُدُوْلٌ عَنْ قِياَسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى
مِنْهُ عُدُوْلٌ عَنِ الدَّلِيْلِ اِلَى الْعَادَةِ لِلْمُصْلَحَةِ
Beralih dari penggunaan suatu qiyas
kepada qiya lain yang laiin uat dari adanya (qiyas pertama). Beralih dar
peggunaan ebudalil kepada adat kbiaaan karena suatu
kemalahatan.( Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.
Ag. 2005)
h) Al- Karakhi menerangkan :
الْعُدُوْلُ مِمَا حُكْمٍ بِهِ فِي نَظَائِرِ مَسْئَلَتِهِ
اِلَى خِلاَفِهِ لِوَجْهِ اَقْوَى مِنْهُ
Istihsan
itu adalah berpindah dari sesuat hukum yang sudah diberikan kepada yang
sebandingnya , kepada huum yang berlawanan dengan dia lantaran ada suatu sebab
yang dipandang lebih kuat. (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir
Amin, M. Ag. 2005).
Istihsan itu berarti
meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari
itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai
dengan kemaslahatan umat manusia.
i)
Abu
Hanifah menyatakan :
.
اْلاِسْتِحْسَانُتِسْعَةُ اَعْشَارِ الْعِلْم
Ishtisan itu sembilan
persepuluh ilmu (Drs. Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin,
M. Ag. 2005).
j)
Imam
Malik sebaaimana dikutip Imam Syathibi, Ahli ushul fiqih mazhab Maliki,
menulis:
اْلاَخْذُ بِمُصْلِحَةِ جُزْئِيَّةٍ فِي مُقَابَلَةِ دَلِيْلٍ
كُلِّيٍّ
Memberlakukan kemalahatan juz’i
keika berhadapan dengan kaidah umum(Prof. Dr. H. Rachmad Syafe’i. M. A. 2009).
k) Imam Syafi’i lebih tegas lagi
(pendapatnya apakah istihsan boleh atau tidak
sebagai hujjah):
مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
Barang siapa menetapkan
hukum dengan istihsan , berarti ia membuat syariat sendiri (Drs.
Totok Jumantoro, M. A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M. Ag. 2005).
l)
Dikalangan ulama
Hanabiah, Ibn Qudamah (541 – 620 H/1147-1223 M) ahli ushul fiqh mazhab Hanbali,
mendefinisikan:
الْعُدُوْلُ بِحُكْمِ الْمَسْآَلَةِ عَنْ نَظَائِرِ مَا
لِدَلِيْلٍ خَاصٍ مِنْ كِتَابٍ اَوْ سُنَّةٍ
Berpaling dari hukum
dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan
ini, baik dari ayat Al Quran maupun dari sunah Rasul(Prof. Dr. H. Rachmad
Syafe’i. M. A. 2009).
2. Macam-Macam
Istihsan
Macam-macam istihsan adalah sebagai
berikut:
a) Istihsan
Qiyasi
Yaitu
menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada
petunjuk untuk itu. Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin
dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi. Pada dasarnya, bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jail lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi. Namun, menurut mashab Hanafi,
bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas
khafi lebih besar kemaslahatannya yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jail, maka qiyas jail itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi. Praktik seperti itulah yang
dikenal dengan istihsan qiyasi.[3]
b)
Istihsan
Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku
umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Istihsan Istisnaiy terbagi kepada
beberapa macam, yaitu :
1)
Istihsan
bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an atau As-Sunnah)
dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa.
2)
Istihsan
berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’, baik yang sharih maupun
sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
3)
Istihsan
yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa yang menjadi
konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik
‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
4)
Istihsan
yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang mujtahid melihat
ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas,
demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
3. Kehujjahan
Istihsan
Istihsan
sebenarnya semacam qiyas yaitu memenangkan qiyas khafi atas jali atau mengubah
hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berdasar ketentuan karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya[4].
Keduanya adalah istidlal yang shahih.
Berdasarkan
definisi dan macam-macam istihsan, dapat diketahui bahwa pada dasarnya istihsan
bukanlah merupakan sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Sebab, dari
bentuk yang pertama, adalah mengunggulkan qiyas yang samara daripada qiyas yang
nyata. Karena hal itu dapat menentramkan mujtahid dengan jalan istihsan. Dan
bentuk yang ke-dua adalah kemashlahatan, yang menuntut adanya perkecualian dari
hukum umum (kully) dan hal itu juga dianggap sebagai alasan istihsan.[5]
Diantara
orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok Hanafi.
Mereka beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil
dengan qiyas samar yang mengalahkan qiyas nyata, atau memenagkan qiyas yang
satu terhadap qiyas lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara
mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil
yang benar.
Alasan kehujjahannya:
a.
Surah
al Baqarah 185 yang artinya:
“.... Allah
menghendaki ke kemudahan bagi kamudan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu
.....”
b.
Surah
az Zumar ayat 55:
“Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu ...”
c. Hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud:
“Sesuatu yang dipandang
baik oleh umat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah”[6].
B.
Istishab
1.
Pengertian
Istishab
Dari segi bahasa, Istishab berasal dari kata suhbah
yang berarti menemani atau menyertai (tidak berpisah), mengakui adanya hubungan
perkawinan, mencari sesuatu yang ada hubungannya.
Sedangkan menurut istilah istishab adalah menetapkan
sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunujukkan
perubahan keadaan atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau
secara kekal menurut keadaan hingga
terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Pandangan beberapa tokoh ushul tetang Istishab :
a. Ibn
Qayyim: Ishtishhab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada atau
meniadakan apa yang memang tiada sampai adanya dalil yang mengubah kedudukan
berlakunya hukum itu.
b. Imam
Asnawi: Istishhab adalah melanjutkan
berlakunya hukum yang telah ada yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai
ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
c. Imam
al Ghazali: Istishhab adalah berpegang pada suatu dalil atau dalil syar’i bukan karena tiadanya adail bahkan
hanya karena tidak ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut.
Sehingga terang bahwasanya apabila ada
suatu perkara sudah ditetapkan pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum ada
dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabila ada suatu perkara ditolak pada suatu waktu, maka penolakan tersebut
tetap berlaku sampai akhir masa sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan)
perkara itu.
2. Macam-Macam
Istishab
Menurut
Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu[7]
:
a) Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari
sesuatu adalah mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang mu’amalat.
Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari
sesuatu yang bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama
tidak ada dalil yang melaranganya. Misalnya makanan, minuman, hewan,
tumbuh-tumbuhan dan lain-lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah
halal dimakan atau boleh dikerjakan. Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.
هو الذي خلق لكم ما في الارض جميعا
...
“Dialah Allah, yang menjadikan
segala yang ada dibumi untuk kamu …”.
Ayat diatas menegaskan bahwa segala
sesuatu yang ada di bumi untuk umat
manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang
membawa manfaat bagi kehidupan. Apabila ada larangan, berarti pada makanan dan
perbuatan tersebut berbahaya bagi manusia.
b) Istishab al-baraah al-ashliyah
Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan
beban taklif sampai ada dalil yang mengubah status itu.
Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseorang ia harus
mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala
tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang
jelas. Jadi seseorang dengan prinsip
istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada
bukti yang mengubah statusnya itu.
c) Istishab al-hukm
Istishab
yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada
bukti yang mengubahnya. Misalnya : seorang yang memiliki sebidang
tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap
ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mngubah status hukum itu,
seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.
d) Istishab al-washf
Istishab
yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada
sebelumnya sampai ada bukti yang
mengubahnya. Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang
yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.
5. Kehujjahan Istishab
Istishab
adalah akhir dalil syar’i yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena ulama’ Ushul
berkata: “Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar fatwa“. Yaitu
mengetahui atas suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat
dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah
menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan ketetapan mereka. Maka barang siapa yang mengetahui seorang
masih hidup, maka dihukumi atas kehidupannya, dan didasarkan pengelolaan atas
kehidupan ini sampai ada dalil yang menunjukkan atas terputusnya.[8]
Sebagai
yang dikemukakan oleh Abu bakar Ismail Muhammad Miqa, bahwa ulama’ terbagi
menjadi dua dalam menentukan kehujjahan Istishab. Ulama yang menerima dan ulama yang
menolaknya. Ulama yang menerima Istishab
sebagai hujjah berarguman bahwa dalam mu’amalah dan pengelolaan harta, manusia
memberlakukan adat yang sudar berlaku diantara mereka. Ia dapat dijadikan dasar untuk penentuan
hukum tersebut selama tidak ada dalil yang mngubahnya. Rujukan tekstualnya adalah Al-Qur’an, surat
Al-Baqarah ayat 29.
Sabda
Rosulullah :
صو موالرؤيته وافطروالرؤيته فاءن غم
عليكم فا كملو اعدة شعبا ن ثلا ثبن يوما
“Berpuasalah kamu karena dilihatnya
anak bulan dan berbukalah kerena dilihatnya anak bulan. Jika dihalangi awan dilihatnya anak bulan,
maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban selama 30 hari”.
Yang
demikian adalah merupakan Istishab dan tetapnya bulan Sya’ban selama belum
tsabit dilihatnya anak bulan Ramadhan. Bahwa
penelitian terhadap hukum syara’ membuktikan bahwa syar’i memutuskan hukum
tetapnya keadaan yang sudah ditetapkan sebelum terjadi katentuan yang
mengubahnya. Khomr tetap haram sebelum
ia menjadi cuka. Perasan anggur tetap
halal sebelum menadi khomr. Pergaulan
suami istri tetap halal antara suami istri sebelum hilang hubungan suami istri.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan
pada makalah ini adalah istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail
(nyata) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum pengecualian karena ada dalil dan dimenangkan olehnya perpindahan
ini (hukum juz’i).
Istihsan terbagi menjadi dua macam yaitu Istihsan
Qiyasi dan Istihsan Istisnaiy. istihsan
adalah suatu dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum
terhadap sesutu yang telah ditetapkan qiyas atau keumuman nas.
Istishab
adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil
yang menunujukkan perubahan keadaan atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan
pada masa lampau secara kekal menurut keadaan hingga terdapat dalil yang
menunjukkan atas perubahannya.
Menurut Abu Zahrah Istishab dibagi
dalam emapat macam yaitu Istishab al-ibahah al-ashliyah, Istishab al-baraah al-ashliyah,
Istishab al-hukm, dan Istishab al-washf. Istishab merupakan dalil
syara’ yang terakhir yang dijadikan para Mujtahid sebagai tempat kembali dalam
mengetahui hukum bagi suatu peristiwa
yang sedang mereka hadapi.
B. Saran
Jadikanlah makalah ini sebagai media
untuk menambahkan wawasan tentang istihsan
dan istihsab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar
Grafika, 1995.
Effendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2014.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama,
1994.
Umam, Chaerul. Ushul Fiqih I.
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Umar, Muin dkk. Ushul Fiqih I.
Jakarta: Departemen Agama, 1986.
[1]
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 117.
[2]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h.110.
[3]
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2014, h. 143.
[4]
Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h..143.
[5]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 113.
[6]
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h 147-148.
[7]
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana,
2014, h. 160.
[8]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 128.
[9]
Dr. H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, 1995: 159
Terima kasih sudah mampir...
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.