Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Berikut adalah makalah ALIRAN EMPIRISME DALAM PENDIDIKAN yang telah saya susun. Maafkan apabila ada kesalahan yah. Semoga bermanfaat.
MAKALAH
FILSAFAT UMUM DAN PENDIDIKAN
ALIRAN EMPIRISME DALAM PENDIDIKAN
OLEH:
NURAMALIYAH RAMADHANY/20700115056
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji syukur dihaturkan kehadirat Allah
SWT. yang memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis dalam
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya, tak lupa pula penulis
haturkan selawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. yang telah
menjadi suritauladan yang baik bagi manusia.
Berkenaan dengan tugas yang diberikan
oleh Dosen mata kuliah Filsafat Umum dan Pendidikan yaitu membuat makalah yang
berjudul “Aliran Empirisme dalam Pendidikan” maka penulis sebagai Mahasiswa
berjewajiban untuk mengerjakannya dan wajib mengumpulkan tepat pada waktu yang
telah ditentukan.
Terima kasih penulis haturkan kepada
Dosen mata kuliah Filsafat Umum dan Pendidikan yang telah mempercayakan kepada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap dengan adanya makalah
ini, dapat membantu teman-teman dalam memahami tentang Aliran Empirisme dalam
Pendidikan.
Samata-Gowa, 22 Oktober
2016
Nuramaliyah Ramadhany
DAFTAR ISI
À Kata
Pengantar
À Daftar
isi
À Bab I Pendahuluan
Ø Latar
Belakang
Ø Rumusan
Masalah
Ø Tujuan
À Bab II Pembahasan
Ø Pengertian
Empirisme
Ø Kemunculan
dan Perkembangan Empirisme
Ø Konsep
Pemikiran Empirisme
Ø Tokoh
Empirisme
Ø Implementasi
bagi Perkembangan Studi Keilmuan
À Bab III Penutup
Ø Kesimpulan
Ø Saran
À Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini merupakan
paradigma bagi pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan
mendalam di semua segi dari seluruh ini kehidupan. Memahami tradisi pemikiran
Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan kearifan
tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang layak kita
tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Kemunculan sebuah pemikiran tidak bisa lepas dari
nilai yang mempengaruhi dari peristiwa dan pemikiran yang hidup dan berkembang
sebelumnya. Juga halnya dengan empirisme, konsep pengetahuan ini tidaklah
berada para ruang hampa yang tidak mengakar pada realitas pemikiran sebelumnya.
Empirisme telah menyumbangkan banyak hal dalam ilmu
pengetahuan. Kaum empiris mengkuduskan eksperimen dan pemahaman ilmiah, dan mengumumkan dengan sangat bangga bahwa mereka
tidak mempercayai gagasan apapun selama belum ditetapkan dengan eksperimen dan
dibuktikan dengan secara empiric.
Oleh karena itu, kami mengambil materi
Empirisme dalam makalah ini agar dapat mengetahui pengertian empirisme,
kemunculan dan perkembangan empirisme, konsep pemikiran empirisme, tokoh-tokoh
empirisme, dan impementasi bagi perkembangan studi keilmuan.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian Empirisme?
2. Bagaimana
kemunculan dan perkembangan Empirisme?
3. Bagaimana
konsep pemikiran Empirisme?
4. Siapa
tokoh-tokoh Empirisme?
5. Bagaimana
implementasi bagi perkembangan studi keilmuan?
C. Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian Empirisme.
2. Untuk
mengetahui kemunculan dan perkembangan Empirisme.
3. Untuk
mengetahui konsep pemikiran Empirisme.
4. Untuk
mengetahui tokoh-tokoh Empirisme.
5. Untuk
mengetahui implementasi bagi perkembangan studi keilmuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Empirisme
Kaum empiris adalah mereka yang mengkuduskan
eksperimen dan pemahaman ilmiah, dan yang mengumumkan dengan sangat bangga
bahwa mereka tidak mempercayai gagasan apapun selama belum ditetapkan dengan
eksperimen dan dibuktikan dengan secara empiric. (mereka terus berkata) bahwa
karena posisi teologi ini berkenaan dengan persoalan ghoib diluar batas - batas
indra dan eksperimen, maka kita wajib mengesampingkannya, dan berpaling kepada
kebenaran- kebenaran dan pengetahuan yang dicerap dalam lapangan eksperimen.[1]
Empirisme berasal dari kata Yunani ”empiria” yang
berarti pengalaman inderawi. Karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang
memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah
yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Seorang yang beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan
di dapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil- hasil
penginderaan. Ini berarti bahwa semua pengetahuan, betapapun rumitnya
pengetahuan, dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah
pengetahuan. Lebih lanjut penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak
lain akibat suatu objek yang merangsang alat- alat inderawi, yang kemudian
dipahami di dalam otak dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah
tanggapan- tanggapan mengenai objek yang merangsanng alat- alat inderawi tersebut.[2]
Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman
sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh
melalui pengalaman dengan cara observasi/ penginderaan. Pengalaman merupakan
faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan
manusia.[3]
Sehingga, tanpa adanya rangsangan dan informasi dari
indera maka manusia tidak akan memperoleh pengetahuan apapun, karena inderalah
yang merupakan sumber utama pengetahuan dalam pandangan kaum empiris.
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan
peranan akal. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang
sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari
panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung.
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
1. Pandangan
bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman
inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3. Semua
yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua
pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari
data inderawi (kecuali beberapa
kebenaran definisional logika dan matematika)
5. Akal
budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa
acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi
mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6. Empirisme
sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan.
B. Kemunculan
dan Perkembangan Empirisme
Perjalanan empirisme yang dimulai dari Plato sampai
John Locke. Empirisme lahir sebagai kritik dan ketidakpuasan metode yang
dipakai rasionalisme dalam mencari kebenaran. Salah satu kritikannya adalah
bahwa tidak sepenuhnya benar apa yang berasal dari akal, bahkan akal mungkin
menipu dalam segala pembuktiannya. Namun Rasionaisme pun tidak mau kalah,
mereka menentang pamikiran kaum empirisme dengan mengatakan bahwa akal
merupakan faktor fundamental dalam suatu pengetahuan. Menurut rasionalisme,
pengalaman tidak mungkin dapat menguji kebenaran hukum ”sebab- akibat”. Para
pemikir Inggris bergerak ke arah yang berbeda dengan tema yang di rintis oleh
Descrates. Mereka lebih mengikuti
mengikuti jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisme.[4]
Orang pertama pada abad ke 17 yang mengikuti aliran
empirisme di Inggris adalah Thomas Hobes (1588- 1679). Jika Bacon lebih berarti
dalam bidang doktrin dan ajaran, Hobes telah menyusun suatu sistem yang lengkap
berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-
dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang
bersifat matematis. ia telah mempersatukan empirisme dengan rasonalisme
matematis. Ia menyatukannya dalam bentuk suatu filsafat materialis yang
konsekuen pada zaman modern.[5]
Selanjutnya tradisi empirisme diteruskan oleh John
Locke (1632- 1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada
persoalan- persoala tentang pengenalah- pengenalan / pengetahuan. Bagi Locke
yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha
menggabungkan teori- teori empirisme seperti yang di ajarkan Bacon dan Hobes
dengan ajaran Rasionalisme Descrates. Usaha ini untuk meperkuat ajaran
empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea- idea dan asas-
asas pertama yang di pandang sebagai
bawaan manusia. Menurut dia segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak
lebih dari itu. Peran akal pasif pada waktu pengetahuan di dapatkan. Oleh
karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.[6]
Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami
perubahan arah jika rasionalisme Descrates mengajarkan bahwa pengetahuan yang
paling berharga tidak berasal dari
pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar bagi segala
pengetahuan.[7]
Pada abad ke-20 kaum empiris cenderung menggunakan
teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar
atau tidak, bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan
empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles Sanders Peirce dalam kalimat
“Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat dipahami kemudian
konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep tentang objek tersebut”.[8]
Terdapat beberapa Jenis Empirisme, yaitu[9]:
1. Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang
bersifat subyektif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach.
Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep
substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori.
Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah
elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini
dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara
sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran
ini juga anti metafisik.
2. Empirisme
Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada
pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada
pandangan-pandangan berikut:
a. Ada
batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan
induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b. Semua
proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi
mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika.
c. Pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
3. Empiris
Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua
pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat
dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan
melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan
banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima
pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan-
pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan
untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untukkeraguan.
Dalam situasi semacam iti, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel
certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada
pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data
inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis
sama sekali.
C. Konsep
Pemikiran Empirisme
Ada dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori
tentang makna dan teori tentang pengetahuan. Teori pertama, teori makna pada
aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan,
yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkas
dalam rumus Nihil est in intellectu quod
non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain
didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke
yang terdapat dalam bukunya, An Essay
Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang
ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu,
tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula
rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya
mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini
ialah pengalaman inderawi atau pengetahuan itu datang dari observasi yang kita
lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut
inner sense (pengindera dalam). Pada abad ke-20 kaum empiris cenderung
menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan
dengan benar atau tidak, bukan pada asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh
penggunaan empirisme secara pragmatis ini ialah pada Charles Sanders Peirce
dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek yang dapat
dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep tentang objek
tersebut”. Filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan dengan aliran
positivisme logis (logical positivism) dan filsafat Ludwig Wittgenstein. Akan
tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat penafsiran
pengalaman. Oleh karena itu, bagi orang empiris jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat
diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.[10]
Teori kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat
diringkaskan sebagai berikut: Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran
umum, seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika,
dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan
sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat
intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi
rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh
lewat observasi jadi ia kebenaran aposteriori.[11]
D. Tokoh
Empirisme
1. Francis
Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan
yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan
indrawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan sejati.
Kata Bacon selanjutnya, kita sudah terlalu lama dpengaruhi oleh metode
deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan, itu tidak benar, haruslah kita
sekarang memperhatikan yang konkret mengelompokkan, itulah tugas ilmu
pengetahuan.
2. Thomas
Hobbes
Thomas Hobbes lahir di Inggris pada tahun 1558 M.
Dia adalah putra dari pastor yang membangkang dan suka berdebat. Keluarganya
terpaksa keluar dari daerahnya akibat situasi yang kurang mendukung. Thomas
Hobbes adalah sosok yangh cerdas, terbukti pada umur 6 tahun sudah menguasai
bahasa Yunani dan Latin dengan amat baik dan pada umur 15 tahun sudah belajar
di Oxford University. Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran
empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti
dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran.
Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme
secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia
menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia
telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang
konsekuen pada zaman modern.[12]
Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada
benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari
bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan
sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala
yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan
ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran
kita. Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi
mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan
misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan
pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam
ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai
dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi
karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam
indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam
jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan
yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi. Hobbes menyatakan bahwa
tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat
digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak
dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa
yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari
kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas
di dalam pikiran orang.[13]
Menurut Thomas Hobbles berpendapat bahwa
pengalaman indrawi sebagai permulaan
segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan indralah yang
merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah
merupakan pengabungan data-data indrawi belaka.
3. John
Locke
John Locke lahir di Inggris pada tanggal 29 Agustus
1632 dan meninggal pada 28 Oktober 1704 M. Karenanya dia di sebut filsuf
inggris dengan pandangan empirisme. Locke sering di sebut sebagai tokoh yang
membrerikan titik terang dalam perkembangan psikologi. Teori yang sangat
penting darinya adalah tentang gejala kejiwaan adalah bahwa jiwa itu pada saat
mula-mula seseorang dilahirkan masih bersih bagaikan sebuah tabula rasa.[14]
Atau dengan kata lain, dia mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir
di dunia bagaikan kertas putih yang bersih.
Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran
Descrates. Baginya, pemikiran Descrates mengenai akal budi kurang sempurna. Ia
menyarankan, sebagai akal budi dan spekulasi abstrak, kita seharusnya menaruh
perhatian dan kepercayaan kepada pengalaman dalam menangkap fenomena alam
melalui panca indra. Ia hadir secara apeteriori. Pengenalan manusia terhadap
seluruh pengalaman yang dilaluinya melalui mencium, merasa, mengecap, dan
mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana.[15]
Yang membedakan Locke dengan lainnya adalah karakter
pemikirannya yang empiris di bangun atas dasar tunggal dan serbaguna. Semua
pengalaman (pengetahuan), kata Locke, berawal dari pengalaman. Pengalaman memberi
kita sensasi-sensasi. Dari sensasi ini kita memperoleh berbagai macam ide baru
yang lebih kompleks. Pikiran kita terpengaruh oleh perasaan refleksi. Kendati
Locke berbeda pandangan dengan filsuf lain, namun Locke juga menerima metafora
sentral Cartesian, pembedaan antara pikiran dan tubuh. Terbukti, dia memandang
bahwa pengetahuan pertama-tama berkenaan dengan pemeriksaan pikiran.[16]
Selain itu, Locke membedakan antara apa yang
dinamakannya “kualitas primer” dan “kualitas skunder”. Yang dimaksud dengan
kualitas primer adalah luas, berat, gerakan, jumlah dan sebagainya. Jika sampai
pada masalah kualitas seperti ini, kita dapat merasa yakin bahwa indra-indra menirunya
secara objektif. Tapi, kita juga akan merasakan kualitas- kualitas lain dalam
benda–benda. Kita akan mengatakan bahwa sesuatu itu manis atau pahit, hijau
atau merah. Locke menyebut ini sebagai kualitas skunder. Penginderaan semacam
ini tidak meniru kualitas- kualitas sejati yang melekat pada benda- benda itu
sendiri.[17]
Proyek epistemologis Locke mencapai puncaknya dalam
positivisme. Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivisme terutama adalah prinsip objektivitas ilmu
pengetahuan. Empirisme memiliki keyakinan bahwa semesta adalah sesuatu yang
hadir melalui data indrawi. Karenanya pengetahuan harus berumber pengalaman dan
pengamatan empirik.[18]
Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah
rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh
melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke:
“Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi,
bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru
melalui pengalamanlah kertas itu terisi.”
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah
(yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari
empiri).
4. David
Hume
David Hume lahir pada tahun 1711 dan wafat pada
tahun 1776. Hume adalah pelopor para empiris, yang percaya bahwa seluruh
pengetahuan tentang dunia berasal dari indra. Menurutnya, ada batasan- batasan
yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat
diambil melalui persepsi indra. David Hume lah aliran empirisme memuncak.
Empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio. Hume
memilih pengalman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengetahuan itu dapat
bersifat lahiriah dan dapat pula bersifat batiniyah. Oleh karena
itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan
sempurna. Dua hal yang dicermati oleh Hume adalah substansi dan kausalitas.
Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami manusia hanya kesan- kesan
saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama- sama. Dari kesan muncul
gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung atas realitas lahiriah,
sedang gagasan adalah ingatan akan kesan- kesan.[19]
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya
yang singkat yaitu I never catch my self
at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada
setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh
pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression).
Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu
pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri
manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi
pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar
empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada pengamatan (observasi) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian
menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya
pengetahuan.
E. Implementasi
bagi Perkembangan Studi Keilmuan
Empirisme memiliki andil yang besar dalam ilmu,
yaitu dalam pengembangan berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan
utama adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk
membangun pengetahuan. Selain daripada itu, tradisi empirisme adalah fundamen
yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam
konteks perdebatan apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam.
Sejak saat itu empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu
pengertahuan sosial. Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi
positivisme. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang
berbeda. Sedangkan dalam Islam, Empirisme dalam Islam mempunyai peran penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu Fiqh yang bebasis empiris, yaitu
(ibadah mumalah), shalat, zakat, puasa, dan haji. Empirisme lahir dan terjebak
kepada afirmasi rasio praksis dan menegasikan rasio murni sehingga muncul
dogmatisme empiris sendiri, terlebih dengan membangun kecurigaan/
ketidakpercayaan/ menegasikan (skeptisis) terhadap epistema yang lainnya telah
banyak dianut oleh pendidikan modern, inilah bukti kenaifannya.[20]
Dampak epistemologis dari empirisme diantaranya
adalah sebagai berikut[21]:
1. Terjadinya
pemisahan antara bidang sankral dan bidang duniawi, misalnya pemisahan antara
agama dan negara, agama dan politik, atau pemisahan materi dan ruh yang
terwujud dalam seorang ahli fisika atau ekonomi tidak akan berbicara agama
dalam karya ilmiah mereka, sementara fisika dan ekonomi direduksi menjadi
angka-angka, materi dan ruh tampak tidak kompatebel di mata mereka.
2. Kecendrungan
kearah reduksionisme, materi dan benda direduksi kepada element-elemennya. Ini
tampak pada fisika Newton, sama halnya dengan homo ekonomi-kus dalam ekonomi
modern. (dua hal ini pengaruh sejarah rasionalisme empirisme).
3. Pemisahan
antara subyektivitas dan obyektifitas, misalnya dalam ilmu sosial hal yang
merupakan debuku obyektif adalalah keniscayaan yang mengarah kepada relitas
pasti, (pengaruh positivisme pengetahuan yang berujung pada statusquo hinggga
dominasi kebenaran).
4. Antroposentrisme,
ini tampak dalam dalam konsep demokrasi dan individualisme (ini merupakan
pengaruh dari rasionalisme Rendescartes dengan jargon individu bebas atau
subyek manusia akan menjadi sentral peradaban dunia).
5. Progresivisme,
progresivisme diwakili oleh Marx, tetapi juga diyakini secara luas seperti pada
kemajuan ilmu pengetahuan dan obat-obatan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Empirisme
adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara
observasi/ penginderaan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam
pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia.
2. Empirisme
lahir sebagai kritik dan ketidakpuasan metode yang dipakai rasionalisme dalam
mencari kebenaran. Sehingga, para pemikir Inggris bergerak
ke arah yang berbeda dengan tema yang di rintis oleh Descrates. Mereka lebih mengikuti mengikuti jejak Francis
Bacon, yaitu aliran empirisme.
3. Ada
dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang
pengetahuan. Teori makna pada aliran empirisme biasanya
dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau
konsep. Teori
kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut: Menurut
orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum, seperti “setiap kejadian tentu
mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak
pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu.
4. Tokoh-tokoh
empirisme antara lain: Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.
5. Empirisme
memiliki andil yang besar dalam ilmu, yaitu dalam pengemangan berpikir
induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan utama adalah lahirnya ilmu
pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan.
Selain daripada itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata
rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan
apakah ilmu pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu
empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengertahuan
sosial. Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi positivisme. Namun
demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
B. Saran
Sebaiknya
kita mengenal lebih dalam tentang Empirisme agar kita dapat lebih mengetahui
pentingnya pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Adian,
Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu
Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Khun. Jakarta: Teraju, 2002
Anees,
Bambang Q. dan Hanbali, Radea Juli A. Filsafat
Umum. Cet.I Jakarta: Prenada Media, 2003.
Anees, Bambang Q. dan Hanbali, Radea
Juli A. Filsafat Untuk Umum. Jakarta: Kencana, 2003.
Ash- Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. Bandung: Mizan, 1994.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.
Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Maksum,
Ali. Pengantar Filsafat dari masa Klasik
Hingga Potmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Sadullah, Uyyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2003.
Schmad,
Henry J. Filsafat Politik: Kajian Toeri
Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Shimogaki,
Kazuo. Kiri Islam (Antara Modernisme dan Posmodernisme)
trj. Azis dan Jadul Yogyakarta: Lkis, 2007.
Solomon,
Robert C. dan Kathleen M. Higgins. A
Short History of Philosophy, terjemahan. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
Tafsir,
Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak
Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.
[2]Ali Maksum,
Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga
Potmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h.357.
[3]Uyyoh
Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan
(Bandung: Alfabeta, 2003) h. 32.
[4]Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (cet. IX; Yogyakarta: Kanisius,
1993), h. 31.
[5]Ibid,
h. 32.
[6]Ibid,
h. 36.
[7]Bambang
Q. Anees & Radea Juli A. Hanbali. Filsafat
Umum, (cet. I; Jakarta: Prenada
Media, 2003), h. 314.
[8]Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosda, 2008), h.174.
[9]Lorens
Bagus, Kamus Filsafat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 201.
[10]Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosda, 2008), h. 175- 174.
[11]Ibid,
h. 178
[12]Henry
J. Schmad, Filsafat Politik: Kajian Toeri Historis dari Zaman Yunani Kuno
sampai Zaman Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 309
[13]Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 11.
[14]Robert
C. Solomon & Kathleen M. Higgins 2002. A
Short History of Philosophy, terjemahan (Yogyakarta: Bentang Budaya), h.
386- 387.
[15]Donny
Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu
Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Khun (Jakarta: Teraju, 2002), h.
49.
[16]Robert
C. Solomon & Kathleen M. Higgins 2002. A
Short History of Philosophy, terjemahan (Yogyakarta: Bentang Budaya), h. 387.
[17]]
Ali Maksum. Pengantar filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme
(Jakarta: Ar Ruzz Media, 2008), h. 134.
[18]Bambang
Q- Anees dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat
Untuk Umum (Jakarta: Kencana, 2003), h. 337.
[19]Muji
Sutrisno dan F. Budi Hardiman, Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: kanisius, 1992), h. 61.
[20]Kazuo
Shimogaki, Kiri Islam (antara modernisme
dan posmodernisme) trj. Azis dan Jadul (Yogyakarta: Lkis) hlm. 26.
keren, semoga bermanfaat tulisannya
BalasHapusTerimakasih... Sudah berbagi pengetahuan..
BalasHapusizin copy dan potong
BalasHapus